Bagi Anda yang belum menonton film Laskar Pelangi,
segeralah untuk menontonnya. Film tersebut merupakan film yang diangkat dari
sebuah novel karangan sastrawan khas Melayu, Andrea Hirata. Saya berani katakan
kalau film tersebut merupakan film terbaik yang pernah ada sepanjang masa.
Buktikan kalau tak percaya!
Baru-baru ini, saya menemukan film yang serupa -bahkan
hampir sama persis- dengan film Laskar Pelangi ini. Laskar Pelongo judulnya.
Terdapat beberapa keunikan dan ‘kejanggalan’ di beberapa segi yang menarik
untuk disimak. Sebelum lebih jauh, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap film
kedua, penulis perlu sampaikan betapa penulis sangat mengagumi film yang pertama,
yaitu Laskar Pelangi tesebut. Sehingga, tulisan ini tidak lain hanya ditulis
dengan dua pandangan, yaitu: pertama, subjektik; kedua,
sangat-sangat subjektif.
Untuk memudahkan dalam membedakan kedua film ini,
penulis menggunakan istilah ‘film pertama’ untuk merujuk ke film Laskar Pelangi
dan sebutan ‘film kedua’ untuk merujuk ke film Laskar Pelongo. Hal ini untuk
menghindari penyebutan yang bisa menyinggung salah satu penikmat dari kedua
film tersebut.
Pertama, soal pemeran dan unsur-unsur instrinsik lainnya. Tidak jauh berbeda
dengan film aslinya, film kedua ini hanya mengganti sedikit saja segala nama
yang ada. Contohnya, pemeran utama yang di film pertama bernama Ikal, di film
kedua bernama Ipal (karena ia sering mengupil, 00.21). Temannya, si murid
tercerdas sejagad Belitong, di film pertama bernama Lintang, sedang di film ini
bernama Bintang. Ibu guru yang di film pertama bernama Bu Muslimah, di film
ini bernama Bu Muzdalifah. Nama desanya pun berubah. Di film pertama, desa nan
indah itu bernama Desa Belitong, sedang di film ini desa tersebut bernama Desa
Beritung (karena dulu, di tempat ini banyak jenius yang pandai berhitung, namun
karena kesombongannya, akhirnya dikutuk sehingga tidak bisa berhitung
selamanya, 00.43).
Kedua, karakter tokoh dalam film. Pengkarakteran dalam film ini pun tidak jauh
berbeda dengan film yang pertama. Tokoh Bintang, misalnya, di kedua film ini
sama-sama digambarkan sebagai anak yang cerdas. Ibu Mus tetap digambarkan
sebagai guru yang sabar dan ikhlas dalam memberikan pengajaran kepada
murid-muridnya. Adapun yang berbeda dari film kedua ini seperti tokoh Flo yang
memiliki hobi bermain karate, atau Pak Nasar yang mencintai Bu Mus, yang di
film pertama adegan itu tidak pernah terjadi.
Ketiga, Melayu dan keunikannya. Kenapa unik ? Melayu, terutama zaman dahulu,
seperti yang tergambar dalam film pertama, sangat identik dengan
‘kesengsaraan’. Ditambah lagi tempatnya di daerah pelosok nun jauh di sana, di
Desa Gantong Pulau Belitong. Sehingga memisahkan Melayu dari ‘kesengsaraan’
bagaikan memisahkan ombak dari lautnya. Dalam film pertama, penggambaran
Belitong dan orang-orangnya sangat terasa sekali. Tokoh Ikal, misalnya, dari
fisiknya benar-benar mengenaskan. Badan kurus, rambut sulit diatur, kulit
gelap, hingga baju yang hampir itu-itu saja. Namun dari situlah dapat diambil
pelajarannya. Tokoh Ikal, meskipun begitu, memiliki semangat yang besar untuk
menggapai cita-cita. Dalam film kedua, pesan itu tidak lagi tervisualkan. Tokoh
Ikal di film kedua tampilannya sudah berbeda: badan berisi seperti anak yang
selalu minum susu di pagi hari. ‘Kesengsaraan’ tokoh ini akhirnya dialihkan ke
sifatnya yang hobi mengupil. Terkesan sangat memaksakan.
Keempat, penamaan Laskar. Dalam film kedua, penamaan diambil dari suatu
kejadian tak terduga saat Bu Mus dan murid-muridnya sedang belajar bersama di
luar ruangan. Kala itu, Bu Mus mengajarkan pelajaran Matematika dan bertanya
seperti ini:
“Ada
yang tau gak, 2 ditambah 2 itu berapa ?”
Bukannya menjawab, para murid justru melongo dan
mematung keheranan. Seakan-akan mereka baru mendengar suatu kalimat yang baru
mereka dengar seumur hidup mereka. Hey, mereka seperti baru mendengar sepotong
kalimat seorang Feuerbach yang mengatakan: Bukan Tuhan yang menciptakan manusia
menurut rupa dan gambarnya, melainkan manusialah yang mencipta bayangan tentang
Tuhan menurut rupa atau bentuk manusia. Tidak. Mereka hanya mendengar kalimat
tanya yang isinya cuma berapakah 2 + 2 ? Dan karena murid-murid itu hanya
melongo ketika mendengar kalimat tanya itu, akhirnya Bu Mus berinisiatif untuk
memberi mereka julukan “Laskar Pelongo” (08.15). Dan lagi-lagi terkesan
memaksakan.
Kelima, Pak Nasar yang jatuh cinta dengan Bu Mus. Dalam film kedua ini, adegan
Pak Nasar yang jatuh cinta dengan Bu Mus tidak ada dalam film pertama. Apalagi,
ketika Pak Nasar menggunakan sihir ketika lamarannya ditolak oleh Bu Mus.
Hmmm.. Tak semudah itu, Boy!
Keenam, Aling yang mengejutkan. Di film kedua, sosok Aling tak seperti pada
film pertama yang memiliki paras yang menawan. Tak heran jika Ikal bisa jatuh
cinta dengannya hanya karena melihat kuku paling cantik sedunia. Namun tidak
demikian di film kedua. Mungkin ini pertanda, kalau tak akan ada film Laskar
Pelongo 2. Hmmmm.
Poin-poin di atas hanya beberapa catatan yang membuat
penulis gelisah. Setidaknya semoga tidak terjadi lagi. Meskipun disadari, bahwa
film kedua ini memiliki genre yang berbeda dengan film pertama. Film kedua
lebih bergenre komedi. Tak heran jika segalanya lantas dibuat lucu -meskipun
terkesan memaksakan. Dan inilah yang membuat film kedua akhirnya kehilangan
spiritnya. Di satu sisi, film ini ingin mengkomedikan suatu film yang sejatinya
mengandung sejuta pesan. Namun karena beralih genre, alih-alih menyampaikan
pesan, pesan itu justru terdistorsi. Bagi yang pernah menonton film pertama
lalu menonton film kedua ini, akan merasa aneh menontonya, setidaknya itu
terjadi pada diri pribadi. Dibilang lucu, enggak banget, dibilang memotivasi,
ya kok kurang yah. Bukankah lebih enak jika ingin membuat film bergenre komedi,
sekalian terjun bebas ke dasar komedi, begitu juga sebaliknya ? Hmmm.
-Ahnaf.