
Ilmu adalah cahaya, dan
cahaya Allah tidak diberikan kepada orang-orang yang berdosa. Demikian titah sang guru
yang saya anut mazhabnya; mazhab Asy-syafi’i. Jika cahaya adalah apa yang
menerangi, maka untuk itu haruslah ada mata yang berfungsi sebagai penyaksi
terhadap apa yang diterangi. Jika matahari memiliki cahaya sendiri, saya
tanyakan padanya, mampukah dia melihat dirinya sendiri dengan sinar raksasa
yang dia punya? Belum lagi dia jawab pertanyaan saya, mendengar saya bertanya padanya
pun tidak. Kemudian saya bertanya pada bulan dengan pertanyaan yang sama,
ternyata dia pun tak mendengar, jadi mirip judul lagu saja “Langit
Tak Mendengar”,
Peterpan. Pada api di obor
tengah malam samping jalanan desa, dia juga tidak punya telinga untuk
mendengar, apalagi mulut untuk menjawab. Begitu seterusnya. Hingga saya
bertanya pada titah sang guru. Jika ilmu adalah cahaya, mampukah dia melihat
kepada dirinya sendiri dengan cahaya yang dia punya? Dia pun menjawab mampu, sangat
mampu.
Jika cahaya adalah apa yang
bisa menerangi, maka yang paling pantas disebut cahaya adalah ilmu pengetahuan.
Bukan hanya menyinari hal-hal yang di luar dirinya, tapi juga mampu menyinari
dirinya sendiri sebagai ilmu.
Maka saya kisahkan sebuah
pengalaman dalam sebuah fase pencarian cahaya dalam hidup, yakni masa di mana
saya mulai membuka dan memperluas ruang dalam pencarian. Seperti halnya mencari
pasangan, jika ingin lebih banyak pilihan, maka perluaslah tempat pencarian. Ya,
sepertinya teorinya begitu. Ini teori saya sendiri sih, tapi sepertinya
memang ada benarnya ya kan? Begitu pula dengan ilmu pengetahuan. Karena bulan
purnama di Indonesia belum tentu persis tampaknya dengan bulan purnama di
negeri orang, maka perlu untuk memperluas sudut
pandang agar bisa melihat berbagai sisi dari keindahan rembulan. Kiasan lebih amannya demikian.
Dulu, di sebuah pondok yang
modern, saya sedang mengemban cinta dengan pongahnya di tempat yang penuh berkah
itu. Masih teringat
saat itu, di depan asrama satu,
saya ditemani oleh seorang teman akrab, bersandar di tiang teras pembatas sambil membaca buku
karya Rumi dengan kedua paha yang saya jadikan meja, dan sebuah pulpen tinta biru
di tangan kanan sambil sekali-kali saya main-mainkan. Itu adalah kala
pertama dimana terjadinya sebuah obrolan mengenai beberapa sudut pandang serius
dan akhirnya malah berlanjut pada pembahasan cita-cita ke depannya.
Kehidupan di pondok satu tahun
terakhir sebelum tamat, membuat saya memikirkan
banyak hal waktu itu. Saya
hidup bertatap muka dengan pelajaran agama juga akademik sekolah selama dua
puluh empat jam non stop kecuali waktu istirahat di pondok
itu. Saya mengakrabkan diri dengan guru-guru, kiyai, ustadz dan ustadzah sampai beberapa anak ustadz
juga sempat saya akrabi. Kata seorang teman itu, saya santri yang sopan tutur kata juga adab, sehingga membuat saya tampak baik jiwa.
Saya hanya tersenyum, tidak peduli pada pujian atau kalau ada hinaan
di lain hari, demikian pula, dan seterusnya.
Saya berkata
kepada seorang teman “Kita tidak
sedang haus pujian di umur delapan belas ini, teman. Kita masih
tetap haus adab. Ilmu yang insya Allah sudah lebih cukup ketimbang
pertama kali kita di pondok ini, itu bekal luar biasa untuk sebuah pengembaraan
di lautan experience.”
“Hmm …, diriku
pun selalu punya mimpi yang mirip-mirip dengan yang demikian,” jawabnya sambil
memasang wajah seriusnya.
Di sebuah tulisan ucap kemudian, saya dihampiri oleh segerombolan kafilah perbacotan
konten tidak berbobot, dan saya kisahkan soal apa saja tentang teman, ilmu,
guru, asrama, dapur pondok, WC asrama, kelas IPA dan IPS, arama putri, koperasi
depan aula, acara Lembaga Bahasa Asing, bimbingan malam, dan seterusnya. Saya
bermimpi untuk sebuah suasana yang total soal ilmu, ilmu, dan ilmu saja. Ilmu
adalah seni. Ilmu adalah apa yang diberikan dan ditampakkan. Semakin tinggi
ilmu, semakin baik tampaknya.
Berbagai suasana pondok yang
tidak akan terlupakan nantinya, merupakan kausalitas cinta di dalam hati. Saya
membungkus ucap dengan rasa, kala ditimpali dengan secuil kalimat
menggelitik oleh seorang guru
yang saya cintai.
“Topik, kamu nanti sekolah di
Mesir, ya!”
Sayapun tersenyum,
mencium
tangan beliau, dan tidak berjanji dengan hal yang tidak saya jamin akan
tercapai kecuali Allah menghendaki. Saya
berbicara dengannya menggunakan bahasa Arab yang familiar, “Insya Allah,
Ustadz,” lantas Ustadz tersenyum pada saya.
Tiba di sebuah kondisi yang
saya rasa pasti pernah dilalui oleh setiap alumni pondok itu. Yakni masa
akhir-akhir menjelang tamat dari pondok. Beriringan dengan belasan urusan
lainnya; ujian nasional, daftar jalur beasiswa, pilah-pilih
kampus, perencanaan acara penamatan, dan susulan pengkajian soal apa saja yang
terasa kurang sebelum tamat.
Pada persoalan pilah-pilih
kampus, saya ikut ke beberapa teman untuk daftar ke sebuah universitas
ternama di kalangan santri-santri nusantara; Al-Azhar Cairo, Mesir. Ini sesuai
dengan permintaan
Ustadz yang sebenarnya sangat saya syukuri. Sebuah permintaan
seorang guru pada muridnya menandakan bahwa murid tersebut terlihat mampu di
mata sang guru bahwa permintaan tersebut bisa diemban oleh sang murid. Itu logika
terkenal yang orang-orang pahami. Saya tidak bermimpi terlalu tinggi. Tapi setiap kali
Ustadz dan Ustadzah melontarkan sebuah kalimat yang berbunyi, “Topik, kamu
nanti sekolah di Mesir, ya!” saya hanya bisa tersenyum,
dan pada akhirnya sambil mengatakan iya, dan tidak
lupa mengucapkan, “Insya Allah, Ustadz.” Seraya sedikit
mengaminkan di dalam hati.
Pada suatu hari
di mana cinta sedang menyembur tak tahu arah, saya mendapat
percikan yang entah berapa
massa dan volumenya jika ditakar dalam Ilmu Fisika. Cinta
itu terdefinisi ke dalam sebuah takdir yang membuat saya tersenyum. Ibarat
Qais, saya bertemu Layla di taman yang berlatar romansa sore yang
merah. Cinta itu adalah sebuah kabar. Saya dan tiga orang teman divonis menderita
hidup yang beruntung seberuntung-beruntungnya, sehingga kata derita di awal
tadi dihilangkan maknanya, menjadi tervonis hidup beruntung seberuntung-beruntungnya.
Kabar itu mendadak susah saya utarakan kepada dunia. Maka saya utarakan saja
pada diri saya sendiri untuk sementara itu.
Kabar gembira; Muhammad Taufiq
Hidayat lulus untuk kuliah di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Saya merasa
hampir tidak bisa menampung makna kabar itu. Saya senyum-senyum sendiri dalam
kamar, mengenang setiap yang bisa saya kenang, membatin tentang cinta, cita,
mimpi, dan segala sesuatu yang pernah saya cari untuk saya cari kembali.
Bersambung …
Oleh: Muhammad Taufiq Hidayat