Mengulas tentang kemerdekaan Republik
Indonesia tentu tidak terlepas dari peran Ulama dan kaum Santri. Berbagai
pergerakan yang dilakukan oleh umat Islam begitu tampak mewarnai sejarah
perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Pergerakan tersebut
dilakukan dalam bentuknya yang bermacam-macam, mulai dari perjuangan diplomasi
hingga pertaruhann nyawa dalam berbagai peperangan pada masa itu. Dengan
demikian, sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam, khususnya kaum santri di
masa kini untuk menghargai jasa-jasa para pendahulu tersebut dengan meneruskan
perjuangan mereka.
Menurut Marwan Saridjo (1980) dalam
bukunya Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, ada tiga fase ulama
pesantren dalam menentang penjajah. Pertama, mengadakan ‘uzlah,
yakni mengasingkan diri ke tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan
penjajah. Oleh karena itu, apabila pada awalnya kebanyakan pesantren berada di
pedalaman perlu dipahami dalam konteks ‘uzlah, sebagai bentuk perlawanan
terhadap penjajah. Seandainya tidak pernah terjadi penjajahan, Nurcholish
Madjid (1997) menduga keberadaan pesantren tidak akan begitu jauh terpencil di
daerah pedesaan, mungkin akan berada di kota-kota yang menjadi pusat kekuasaan dan
perekonomian, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana. Kedua,
bersikap non-kooperatif dan sering mengadakan perlawanan secara diam-diam. Ketiga,
memberontak dan mengadakan perlawanan secara fisik. Pada perlawanan fisik
inilah kaum pesantren berjuang dalam jihad mengangkat senjata di medan
perang.
Selama masa penjajahan pesantren
memiliki peran ganda, yaitu sebagai pusat penyebaran Islam sekaligus sebagai pusat
penggemblengan para santri dan umat Islam untuk menumbuhkan semangat jihad agar
suatu saat bangkit, sebagai hizbullah, membela agama dan tanah air dari
cengkeraman penjajah. Untuk membakar semangat jihad melawan penjajah, ulama
pesantren mengeluarkan sejumlah fatwa seperti; hubb al-wathan min al-iman (cinta
tanah air merupakan bagian dari iman), man tashabbaha bi qawm fahuwa minhum (barang
siapa meniru suatu kaum, berarti ia termasuk bagian dari kaum itu). Karena itu,
memakai dasi ketika itu hukumnya haram lantaran menyerupai Belanda, berbahasa
Belanda diharamkan karena akan menyerupai dan bermental Belanda. Akan tetapi,
jika belajar bahasa Belanda untuk kewaspadaan terhadap tipu muslihat mereka,
maka hukumnya menjadi boleh, sambil berdalil man ‘arofa lughota qawm amina
min syarrihim (barang siapa yang memahami bahasa suatu bangsa, maka ia akan
tehindar dari tipu muslihat mereka). Kemudian fatwa yang sangat menakutkan kaum
penjajah adalah Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Hadlratusyaikh KH
Hasyim Asy’ari pada bulan Oktober tahun 1945, dalam rangka mempertahankan
kemerdekaan RI dari agresi Belanda dan sekutunya. Fatwa-fatwa di atas dan
keterlibatan langsung ulama-ulama pesantren dalam peperanganmelawan kolonial,
menjadi dokumen tak terbantahkan betapa pesantren memiliki jasa yang besar
dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan Mohammad Kosim (2006) dalam
tulisannya berjudul Pesantren dan Wacana Radikalisme, mengutip perkataan
Budi Utomo, tokoh pergerakan nasional, yang mengatakan; “Jika tidak karena
sikap kaum pesantren ini, maka gerakan patriotisme kita tidak sehebat seperti
sekarang”.
Memasuki 71 tahun kemerdekaan, santri
dituntut untuk terus aktif dalam memajukan NKRI. Perjuangan yang dibutuhkan
pada masa ini bukan lagi jihad qitalmengangkat senjata. Akan tetapi perjuangan
masa kini dilakukan dalam bentukjihad intelektual untuk kemajuan bangsa.
Kaum santri dapat bergerak dalam segala bidang untuk berpartisipasi membangun
NKRI, menjaga keutuhannya serta menciptakan kedamaian di dalamnya. Dengan
demikian, jihad kaum santri dapat terus hidup dalam segala konteks zaman.
Dengan kontekstualisasi makna jihad,
diharapkan kaum santri menjadi tonggak kemajuan NKRI. Di tengah maraknya
isu terkait islamofobia, maka tugas kaum santri adalah menampilkan wajah Islam
yang damai sebagai rahmat bagi seluruh alam. Menghadapi derasnya arus
informasi, maka kaum santri mesti turut bergerak melawan provokasi pihak-pihak
tertentu yang ingin memecah belah umat Islam.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) juga menuntuntut kaum santri menjadi bagian aktif di
dalamnya. Artinya kaum santri tidak mesti mengasingkan diri di tempat terpencil
sebagaimana pada masa penjajahan dahulu, dalam konteks ‘uzlah. Dalam bidang ekonomi, sosial, politik maupun
budaya pun mesti ada peran jihad kaum santri yang turut memberi warna di
dalamnya. Hal demikian telah sejalan dengan pesantren yang juga turut melangkah
pada kemajuan dengan mengintegrasikan ilmu agama dan sains dalam
pembelajarannya.
Berbekal semangat jihad yang
menggebu untuk menegakkan kalimat Allah, serta diiringi dengan kecakapan intelektual
yang mumpuni, menjadikan kaum santri begitu potensial membangun peradaban. Jihad
santri, dulu dan kini, mesti terus menyala di bumi Indonesia.
Ditulis oleh: Hendriyan Rayhan