Merdekaku, Memanggul Rindu
(1)
Mak, sekarang tujuh belas agustus!
Lalu kenapa nak?
Dan tangan tuanya masih memilah mana batu mana
beras
Tangan kecil disampingnya memegang koran bekas
bungkus gorengan
Tangan tuanya menyeka peluh
Tangan kecilnya menyeka rindu
Merindukan merdeka!
(2)
Merdeka! Merdeka!
Berantas kemiskinan!
Teriakan pemuda di perempatan jalan
Sepasang mata tua memandang dari seberang
Tangannya memegang perut berkereok
Merindukan merdeka!
Puisi diatas adalah
puisi yang disusun atas perenungan dan refleksi realita negara kini. Memaknai
merdeka, yang terlintas di pikiran senantiasa tentang tugas ‘memerdekakan’ yang
belum dan rasanya tak pernah usai. Dari aspek terkecil dalam negara ini, hingga
aspek terumit negara yang tiada terbaca orang-orang awam. Orang-orang yang
hanya tahu merdeka adalah perut mereka terisi. Dan tugas yang diemban oleh
segenap rakyat indonesia itu rasanya tiada pernah habis.
Menelisik kembali
perjuangan rakyat indonesia kala itu, tak pernah luput sederet nama pahlawan.
Dari yang terabadikan di buku sejarah hingga yang tertera di nisan taman makam
pahlawan. Terlepas dari itu, masih banyak nama yang syahid tak terbadikan
disini namun tak pernah luput di langit-langit. Setiap dari mereka tentu
memiliki karakter yang beragam, sesuai watak ataupun asal mereka. Dari mereka
kita dapat mengambil sejuta pelajaran. Ini hanya sedikit dari lebih banyak lagi
keteladanan dari mereka dan orang-orang di sekitar kita.
Tanggung Jawab
Nasionalisme tumbuh dari besarnya rasa tanggung
jawab sebagai warga negara. Para pejuang yang mempunyai rasa memiliki negara
dan rasa tanggung jawab tanpa gentar maju memperjuangkan kemerdekaannya.
Semata-mata karena rasa tanggung jawabnya sebagai warga negara. Andai saja
mereka tidak memiliki hal itu, mungkin mereka hanya bisa mengumpat para tentara
ataupun orang-orang besar negara kala itu. Membiarkan mereka terkungkung dalam
nasib hingga ratusan tahun kedepan. Namun tidak, karena adanya rasa tanggung
jawab itulah mereka tetap melakukan perjuangan, sekalipun perjuangan itu tak
nampak banyak pengaruhnya. Tak apa, karena kekuatan kecil mereka itulah
kekuatan besar lahir. Serta lahirnya bangsa yang memiliki rasa tanggung jawab
terhadap negaranya.
Memang rasanya ringan saja mengatakan tanggung
jawab. Namun tak mudah untuk melaksanakannya. Sikap tanggung jawab ini akan
melahirkan sebuah pemahaman kedewasaan, yang akan mengantarkan kita pada sebuah
kesadaran dan tindakan nyata. Tanggung jawab sebagai mahasiswa, sebagai
pengemban amanah, dan sebagai santri. Tinggal bagaimana memposisikan diri.
Apakah membiarkan kelalaian merajai hingga lupa bahwa tanggung jawab memiliki
kekuatan besar bagi masa depan kita, serta memiliki kekuatan di hadapan Tuhan
kita. Apalagi kalau bukan pertanggungjawaban?
Keteguhan
Keteguhan dalam meraih apa yang dicitakan. Jika
saat itu mereka sungguh bercita-cita memiliki negara kesatuan dan terebas dari
jajahan, memiliki kedaulatan sendiri serta bebas sebagai warga negara, maka
kini tentu cita untuk bangsa itu telah berubah. Para pahlawan tanpa ragu
melangkah di baris paling depan untuk menantang penjajah. Dengan senjata yang
tak sebanding, mereka tak akan pernah berani maju dan bertahan untuk tetap
menyerang tanpa adanya keteguhan. Dengan serangan hebat penjajah tentu mereka
akan mundur jika tanpa keteguhan.
Tak hanya di masa itu, kini masih banyak teladan
yang dapat kita ambil untuk memaknai keteguhan itu sendiri. Seperti yang
diungkap dalam puisi diatas, keteguhan orang-orang yang berada di garis
kemiskinan juga seringkali luput menjadi contoh untuk menumbuhkan rasa syukur. Tak
sedikit kita temui teladan itu di sekitar kita, namun tak banyak yang dapat
mengambilnya sebagai sebuah pelajaran berharga.
Ya, keteguhan merupakan kekuatan untuk bertahan
dalam segala situasi. Bertahan ketika situasi sedang sulit. Bertahan untuk
tetap melakukan sesuatu semaksimal mungkin yang dapat dilakukan. Sebagai
seorang akademisi, memiliki kekuatan untuk ‘survive’ dalam situasi apapun tentu
sangat penting. Bukankah banyak dari mereka yang gagal karena tak memiliki
kekuatan untuk bertahan? Ditambah menjadi seorang santri yang juga membutuhkan
keteguhan untuk mempertahankannya. Bukankah santri adalah jati diri yang juga
membutuhkan keteguhan?
Menjadi santri yang
akademis, menjadi pengajar yang tengah mengabdi, menjadi apapun kita, alangkah
indah jika tanggungjawab yang dibarengi keteguhan itu tumbuh dalam diri.
Seperti mereka, para pahlawan yang bertanggungjawab terhadap negara dan
agamanya, meneguhkan diri mereka untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Seperti
mereka, orang-orang yang tumbuh di garis kemiskinan, yang memiliki tanggungjwab
terhadap keluarga dan agamanya, meneguhkan diri untuk tetap bertahan dalam keterbatasannya.
Dan kitapun dapat menjadi seperti mereka. Bertanggungjawab terhadap negara dan
agama, lantas meneguhkan diri melaksanakan tanggungjawab itu. Apabila kita
temui sisi hitam negeri ini, tengoklah saja. Masih banyak sisi terang yang akan
membangkitkan kita. Dirgahayu Indonesiaku, kami pemuda negerimu kelak akan
membuatmu bangga memiliki kami!
Ditulis oleh : Melati Ismaila Rafi'i
0 komentar:
Posting Komentar