Selamat(kan) Tahun Baru
Oleh: M. Basyir
Faiz Maimun Sholeh*
CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga
Hari
ini (1/1), orang-orang di seantero nusantara merayakan tahun baru 2017 masehi.
Kebetulan tahun baru kali ini bertepatan dengan hari ahad. Jadi,
andaipun bukan masa liburan sekolah ataupun tanggal merah, hari ini tetap saja
merupakan hari libur.
Sebelumnya saya ingin
meminta maaf kepada orang-orang yang telah banyak membaca karya saya dan
terlanjur menikmatinya. Karena dalam tulisan ini saya menggunakan bahasa yang
jauh berbeda dari biasanya. Ada beberapa alasan yang membuat saya harus
meninggalkan gaya penulisan itu dalam menyusun beberapa paparan ini.
Mungkin ada beberapa orang
yang mengira saya sombong setelah membaca paragraf di atas. Namun sungguh, saya
sama sekali tidak bermaksud demikian. Dan pastinya, usai mencerna habis tulisan
ini, banyak yang menilai bahwa saya hanya ber-curhat. Maaf, saya hanya
merasa terlalu hina untuk memberikan contoh berupa kisah orang-orang lain
seolah-olah saya benar-benar mengerti apa yang mereka rasakan.
***
31 Desember 2015, saya merayakan tahun baru di depan Ambarukmo
Plaza. Malam itu, bersama teman-teman saya membenamkan diri dalam ramainya
makhluk-makhluk berakal yang sedang menanti datangnya tanggal setelahnya. Ada
yang bergerombol, ada yang berdua, dan ada juga yang hanya sendiri saja.
Saya duduk di trotoar.
Beberapa teman saya duduk di samping saya, sedangkan sebagian yang lain sibuk
dengan hp mereka, mengambil potret kejadian yang, menurut mereka, sakral
tersebut. Terlihat kembang api beterbangan di mana-mana. Para polisi berdiri di
beberapa titik. Saya tidak tahu apakah mereka sedang berjaga atau malah
mengikuti perayaan, dan saya tidak peduli. Saya hanya menantikan hitungan
mundur menuju tanggal 1 bulan 1 tahun 2016.
Sayangnya, hitungan mundur
tersebut hanya muncul di pikiran saya, tidak pada kerumunan di depan mata. Yang
saya lihat waktu itu hanyalah orang-orang yang sibuk dengan kembang api dan
kamera hp. Saya bahkan tak dapat menangkap perpindahan antara detik terakhir
2015 dan titik pertama 2016.
Begitu sadar bahwa garis
itu telah terlewati, saya pulang bersama sebagian teman saya.
***
31 desember 2014, rabu malam kamis, saya berada di kantor
OSIM bersama Daniyal, teman sekelas saya, dan Ishom, adik kelas saya. Kami
menyusun koran satu halaman dengan header “Spesial Awal Tahun” berisikan
prestasi-prestasi yang diraih oleh MA Nurul Jadid sepanjang tahun 2014.
Malam itu begitu ramai,
karena para santri sedang merayakan pergantian tahun meski dengan segala
keterbatasan. Sedangkan kami tidak peduli lantaran disibukkan oleh berbagai
ketidaklengkapan. Data dan cerita yang kami miliki benar-benar berantakan. Tapi
dengan penuh tanggung jawab kami susun serpihan-serpihan itu agar bisa menjadi
selembar kertas yang pantas untuk dipublikasikan.
Adzan subuh berkumandang,
kami baru selesai memampang koran. Semalaman begadang kami tak bisa langsung
terlelap tenang. Karena kami harus mengikuti pembacaan Al-Ikhlas 1000 kali yang
notabene merupakan rutinitas tahunan di pesantren kami dibesarkan.
Setelah kegiatan itu
selesai, mata saya menutup kedua katupnya.
***
Demikian dua kisah perayaan tahun baru yang dijalani oleh
orang yang sama, yakni saya. Hahah. Selisih satu tahun saja perayaannya sudah
jauh berbeda. Semua pasti berubah. Dalam bahasa Aristoteles, semua pasti
bergerak. Pertanyaannya kemudian, kalian lebih suka yang mana?
Selain waktu, tempat juga
sangat berpengaruh. Lokasi yang berbeda menghadirkan kesempatan yang tak sama.
Ini pun masih dalam satu orang. Bagaimana jika orangnya berbeda? Bukankah akan
semakin berbeda?
Intinya, setiap orang
memiliki caranya masing-masing dalam merayakan tahun baru. Tentu ini sudah
dimengerti oleh seluruh pembaca tulisan ini, meski memang mungkin hanya sedikit
yang menyadarinya. Pertanyaan pentingnya adalah, mengapa kalian masih
merendahkan cara orang lain menjalankan perayaannya?
***
Ada banyak pandangan
manusia tentang datangnya tahun baru. Tokoh agama biasa menganggapnya sebagai
waktu untuk muhasabah. Sedangkan media seringkali memanfaatkannya dengan mengajak
para pemirsa untuk mengungkapkan harapan di tahun yang akan datang.
Apapun pandangan mereka,
tahun baru tetaplah tahun baru. Datangnya menandakan bahwa bumi telah genap
satu kali mengelilingi matahari. Sementara dalam perputaran itu banyak hal
telah manusia lakukan di muka bumi.
Orang-orang sering
menghitung, apa saja yang telah dan belum mereka capai. Lalu mereka menargetkan
hal-hal yang belum dicapai agar dapat diraih di tahun selanjutnya. Namun, yang
hingga kini saya pertanyakan, pernahkah orang-orang tersebut memikirkan, apakah
cara yang telah mereka lakukan itu benar atau salah?
***
Dalam acara Sarah Sechan di awal tahun 2014, Sujiwo Tejo
mengatakan bahwa harapan hanya dimiliki oleh orang-orang rendahan. Karena mereka
yang telah banyak memakan asam dan garamnya hidup takkan terlalu berani berharap.
“Gol itu urusannya Manchester United,” imbuhnya kala itu.
Ternyata, saya masih
termasuk orang rendahan. Karena ada satu harapan yang masih saya simpan.
Harapan biasa saja yang anak SMP pun memilikinya. Harapan yang kalau didengar
oleh orang-orang pintar, kebanyakan dari mereka akan berkata “lebay”. Yaitu:
membahagiakan orang tua untuk terakhir kalinya.
Sebagai insan yang sangat
lebih percaya pada insting daripada logika, saya sering berfirasat buruk bahwa
hidup saya tak lama lagi berakhir. Sedangkan seumur hidup saya sangat sering
mengecewakan kedua orang yang telah menjadi perantara kelahiran saya. Maka
meski hanya sekali, saya ingin membuat mereka bangga, sehingga saya siap mati
kapan saja.
Bagi saya, membahagiakan
mereka itu sangat sulit. Menjadi seorang hafiz, memahami seluruh ilmu yang
diajarkan, dan menguasai dua bahasa dengan sempurna, ketiganya secara
bersamaan, bagi orang lemah seperti saya, hal itu sangatlah gila. Mengejar
salah satunya saja saya sudah berdarah-darah, mungkin kalau dua saya harus
bertulang-tulang, dan jika tiga saya harus bernyawa-nyawa.
Tapi, itu tak bisa
dijadikan alasan. Selama saya memiliki kesempatan untuk berusaha, mungkin hal
itu bisa dicapai. Apalagi saya memiliki guru-guru yang ikhlas mengajar saya,
teman-teman yang ikhlas membantu saya, dan diri sendiri yang ikhlas menyiksa
saya.
Berhubung tulisan ini
diunggah di media, apa harapan kalian tahun ini? Kepada siapa kalian
mempersembahkannya? Bagaimana kalian mencapainya? Dan yang paling penting,
tahukah kalian apa yang sebenarnya kalian kejar? Ketenangan, ketenaran, atau
sensasi semata? Hahah.
***
Satu hal yang hampir selalu terlupakan dalam muhasabah
ialah bahwa manusia terus berkembang, dan seiring dengan perkembangan itu
masalah yang dihadapi berkembang pula. Manusia akan selalu menghadapi
permasalahan yang belum pernah mereka alami. Dengan itulah manusia selalu
berkembang.
Jadi, datangnya tahun baru
menandakan akan datangnya masalah-masalah baru. Saya baru menyadari ini pada
awal tahun 2016. Tepatnya, ketika saya secara tidak sadar merasa sombong bahwa
segalanya bisa dicapai asalkan saya berusaha, lalu kemudian pada waktu itu saya
tidak boleh berusaha.
Wahai pembaca yang
budiman, kalian semua pasti tahu bahwa manusia akan selalu melakukan kesalahan.
Ketika orang lain melakukan kesalahan, seringkali kalian dirugikan. Tetapi
ketika orang lain melakukan kebenaran, tak jarang kalian juga akan dirugikan.
Lalu bagaimana kalian membedakan antara keduanya?
Maka pada tahun baru ini, percayalah
bahwa kalian akan bertemu banyak masalah dan kerugian. Namun kalian adalah
orang-orang kuat yang dapat menghadapi semuanya, bukan menghindarinya.
Selamatkan tahun 2017 dengan melakukan apapun yang menurut kalian benar. Jujur
saja, hingga saat ini, kebenaran masihlah merupakan hal yang relatif.
***
Terima kasih banyak kepada para pembaca yang telah
membaca uraian ke barat ke timur di atas. Meski tak seindah Happy Wednesday-nya
Azrul Ananda ataupun sedramatis Catatan Henrikh Mkhitaryan, namun dengan
perasaan yang saya letakkan (bukan bawa) pesan ini mungkin akan sampai pada
hati kalian. Saya sadar, kebanyakan dari kalian pasti hanya menganggap ini
sebagai omong kosong dengan berbagai penyebab yang saya sendiri tidak tahu.
Apa itu tahun baru? Apa
hikmah di baliknya? Bagaimana harus menjalaninya? Bagaimana cara menikmatinya?
Sungguh Allah SWT maha mengetahui atas segala kebenaran.
*Alumni MA Nurul Jadid lulusan tahun 2015.
fuck
BalasHapus