Matematika:
Nilai-nilai Kehidupan
Oleh:
M. Basyir Faiz Maimun Sholeh*
Betapa
panjang waktu yang dibutuhkan untuk sekedar menyampaikan perpisahan kepada pelajaran
matematika. Bukanlah sebuah rahasia bahwa banyak yang tidak menyukainya, meski
di sisi lain tak sedikit jumlah manusia yang menggemarinya. Dari tingkat
sekolah rakyat sampai sekolah lanjutan tingkat atas, seluruh siswa selalu
dihadapkan dengan mata pelajaran ini dengan aneka bentuk pembahasannya.
Pada
permulaan perjalanan, entah itu Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah
(MI), peserta didik mulai bergelut dengan pengolahan angka. Penjumlahan,
pengurangan, pengalian, pembagian, pemangkatan, dan pengakaran, semua diajarkan
oleh para pahlawan dengan penuh kesabaran. Sebagai bentuk aplikasinya, mereka
dihadapkan dengan penghitungan bangun datar, bangun ruang, sampai perihal lain
yang terjadi secara nyata dalam berbagai segi kehidupan.
Kemudian
di Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs), mereka mulai
berhadapan dengan huruf dan sejenisnya. Persamaan demi persamaan ditelusuri
melalui pelbagai rupa simbol hingga menghasilkan sesuatu yang orang istilahkan
sebagai jawaban. Kongruensi, peluang, juga himpunan menghadirkan dunia baru
bagi peserta didik untuk terus menempa diri dalam mencari hasil matang dari
bahan-bahan yang telah disediakan.
Akhirnya
mereka sampailah di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Teori mulai
diperkenalkan. Tidak sedikit barang tak terlihat diperhitungkan. Jangan anggap
igauan, karena seperti angka “0”, ketidaktampakan bukan berarti ketiadaan.
Demikianlah
perjalanan singkat matematika yang selurus penggaris. Ibarat dari Banyuwangi
menuju Jakarta, mereka tinggal mengambil jalan tunggal melalui pantura. Belokan
memang ada, tapi tidak terlalu bermakna mengingat ada satu jalur yang dapat
dijadikan titik fokus mata.
Kecuali
itu, ada dunia balik layar matematika yang biasa dikenal sebagai olimpiade.
Kebanyakan orang mengira, ajang itu hanyalah adu kecerdasan antar siswa atau
mahasiswa. Padahal, di dalamnya terdapat penderitaan yang begitu kelam.
Olimpiade
SD sederajat menghadirkan rasa sakit tingkat pemula. Ketidaksesuaian dengan
pengalaman mulai dibenturkan, seperti sebuah bangun persegi yang kehilangan
setengah lingkaran bagiannya. Dengannya, mereka mengerti bahwa hidup tidak
sesederhana ucapan motivator ternama.
Di
tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), olimpiade menyuguhkan
kekecewaan. Mereka dipaksa bergerak pada situasi yang tidak memungkinkan,
semacam pertidaksamaan, hanya demi mendapatkan kesenangan yang tak pernah
terbayangkan. Ujung-ujungnya, mereka mulai memahami betapa hasil takkan pernah
berbanding lurus dengan perjuangan yang dicurahkan.
Lalu
tibalah di SMA dan sejenisnya. Mereka diharuskan menciptakan rumus sendiri, mencoba
menghadapi persoalan yang tak terduga. Pengalaman selama SD seakan lebih
berharga dari semua setelahnya. Akhirnya, mereka bisa merasa bahwa hidup
bukanlah tentang kesenangan bersama semata, tanpa memperdulikan orang-orang
menderita yang tidak dikenalnya.
Nilai-nilai
Kehidupan
Pembahasan
tentang nilai-nilai kehidupan kini telah menjadi begitu menjemukan. Bagaimana
tidak, kata-kata “bijak” sudah bisa keluar dari mereka yang nyatanya belum
pernah merasakan. Apalagi, kini yang menjadi timbangan utama adalah tujuan,
bukan kewajiban yang harus ditunaikan.
Sejatinya
telah begitu banyak tokoh sampai komunitas yang mendalami arti nafas demi nafas
dihembuskan. Dari pakar sosiologi, antropologi, filsafat, sampai pemuka agama,
semua mencoba menyajikan saran-saran menuju ketentraman. Harapannya, manusia
dapat hidup bersama dengan damai, sejahtera, juga sentosa dengan sikap tanggung
jawab, saling bahu-membahu, serta tidak malu untuk meminta maupun memberi
uluran tangan.
Sayangnya,
harapan hanyalah harapan. Faktanya, manusia malah terjebak dalam pemikiran
tentang nilai-nilai itu sendiri. Mereka terlalu terobsesi dengan pemahaman
secara keseluruhan termasuk perbandingan lebih-lebih pembenaran dan penyalahan.
Lebih-lebih sudah ada media sosial sebagai alat penyebaran demi menjadikan diri
sendiri sebagai tokoh percontohan. Mereka lupa atau malah melupakan bahwa
pengetahuan tanpa perwujudan adalah kebohongan.
Kesempatan
untuk mengulang dari awal selalu terbuka, termasuk dalam hal ini. Ketika carut
marut semakin kalang kabut, sudah saatnya membongkarnya. Terkadang untuk
membangun sesuatu memang harus menghancurkan terlebih dahulu, dan matematika
termasuk salah satu pondasi awal yang cocok bagi para non-pemula.
Dalam
penjumlahan sederhana, insyaallah semua mengerti bahwa 3-2=1, 4-3=1,
6-5=1, dan 100-99=1. Artinya, selama perhitungannya pas, segala proses atau
bentuk bisa menjadi sesuatu. Oleh karena itu, orang sombong tidak hanya
mencakup mereka yang merasa lebih baik dari lainnya. Mereka yang tidak menjawab
dengan benar ketika disapa adalah orang sombong, mereka yang enggan memberikan bantuan
adalah orang sombong, dan mereka yang melupakan masa lalu adalah orang sombong.
Dalam
materi himpunan, tak jarang dalam dua kolom berbeda terdapat angka yang sama.
Ini menunjukkan akan sebuah pembatasan. Jika anda tidak suka dengan orang yang
merokok, silahkan benci mereka ketika menghembuskan asapnya. Tapi jika tidak
sedang melakukannya, kenapa harus dijauhkan dari pandangan mata? Pertengkaran
dalam pertandingan olahraga atau perdebatan kata-kata adalah hal biasa. Maka setelah
forum itu selesai, harusnya perselisihan juga usai. Bukankah begitu sebenarnya?
Integral
dan diferensial merupakan invers yang istimewa. Lengkungan suatu garis bisa
menjadi begitu indah akibat ulah keduanya. Andai saja tata krama berjalan seperti
keduanya, betapa cerahnya masyarakat sejahtera. Ketua bersikap adil, tegas, dan
bertanggung jawab, sementara anggota dapat taat sebisa semampu mereka. Yang tua
mengayomi dan menyayangi para penerusnya, sementara yang muda menghormati serta
tidak bersikap lancang kepada pendahulunya.
Demikianlah
beberapa landasan awal yang mungkin sudah terkubur. Masih banyak poin-poin lain
yang mungkin juga telah dimakamkan, namun mungkin terlalu lama jika harus
berziarah kepada seluruh mereka. Karena sekarang adalah zaman modern yang
notabene semuanya serba cepat, sementara orang-orangnya begitu cerdas sehingga membaca
atau mendengar sedikit saja mereka sudah merasa mengerti segalanya.
Termasuk
buah dari kehidupan modern ialah bahwa manusia masa kini terlalu terobsesi
dengan tujuan atau yang biasa mereka agungkan sebagai cita-cita. Tidak peduli
bagaimana caranya, asal tujuan terlaksana semua halal-halal saja. Kewajiban maupun
larangan bukanlah batu sandungan bahkan jika harus memperoleh dosa. Ibarat orang
membakar sate, mereka mengipas sampai keluar apinya. Masih menjadi sate memang,
tetapi dagingnya justru menjadi hitam. Lebih parah lagi, bisa jadi sate hanya
tinggal angan-angan.
Terima kasih
kepada guru-guru matematika yang telah mengajari putra-putri Indonesia dengan
begitu sabarnya. Terima kasih juga untuk para penemunya, yang orang barat
bilang dari kalangan mereka sementara orang muslim katanya tidak terima. Maklum
saja, memang matematika adalah ketidakpastian yang notebe selalu menjadi rebutan.
Maka setelah ke barat ke timur ke selatan ke utara dari tadi, bersediakah
berziarah kembali?
Wallahu a’lamu
bish-showab...
*Alumni MA
Nurul Jadid.