Oleh: Annas Rolli Muchlisin
CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga
Dalam
al-Dzariyat [52]: 49, Allah berfirman yang artinya “dan setiap sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”. Secara
jelas ayat tersebut menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki pasangan
– sebagai konsekuensi yang tunggal hanya Allah (tauhid). Makanya buat para
jomblo nih, gak usah ngenes-ngenes banget, yakin sudah ada pasangan terbaik
untukmu, cieee. Tulisan ini tidak akan membahas hiburan buat para jomblo
seperti itu, tetapi kita akan membahas hal yang lebih substansial.
Contoh
sederhana dari penjelasan ayat di atas adalah bahwa setiap anggota tubuh kita
memiliki pasangan. Ada dua mata untuk menatap kehidupan, dua telinga untuk
mendengar melodi suara, dua tangan untuk melakukan aktivitas, dan dua kaki
untuk menjajaki bumi Allah. Tetapi pernahkah kita berfikir apa pasangan dari
akal kita? Apakah akal kita jomblo? Hihi
Allah
membekali kita akal untuk berpikir. Kekuatan akal terletak pada kemampuan
analitisnya. Kita mampu melihat ketepatan atau kecacatan dari suatu ungkapan
dengan potensi akal. Ya, akal yang terlatih membuat kita mampu melontarkan
berbagai macam kritik terhadap pendapat yang kita anggap kurang tepat dari
seseorang. Tetapi sekali lagi, apakah akal kita jomblo?
Saya
rasa tidak. Akal harus memiliki pasangan yang dapat melengkapinya. Dalam
tradisi pemikiran Islam, akal harus dilengkapi oleh wahyu. Bagaimana mungkin
kita dapat mengenal Tuhan hanya dengan mengandalkan akal dan menegasikan wahyu?
Tetapi kali ini saya mencoba melihat dari sisi lain, yaitu dari sisi
“kepemilikan kita”. Kita memiliki akal tetapi tidak memiliki wahyu. Meskipun
wahyu kepada Nabi telah tertulis dalam lembaran al-Qur’an dan hadis, tetapi
pemahaman kita terhadapnya tidaklah berdasarkan bimbingan wahyu. Nah, lagi-lagi
apakah akal kita jomblo?
Tentu
tidak. Allah membekali kita hati yang dapat menjadi alat kontrol bagi akal.
Dengan kemampuan akal, kita bisa saja mengkritik semua orang yang berbeda
pendapat dengan kita. Kita bisa saja menyalahkan orang lain dengan
argumentasi-argumentasi kita yang kuat. Tetapi hati berbisik: “sampaikanlah
kritikanmu dengan sopan, jangan menyalah-nyalahkan apalagi membenci”. Saya
sering membaca kritikan sebagian orang-orang pintar baik terhadap habib Rezieq
maupun kiai Said Aqil, dalam beberapa pandangan saya setuju dengan kritikan mereka, tetapi cara
penyampaian mereka terkesan menghakimi. Akhirnya sebagian pengikut yang terhakimi
membalas dengan tuduhan serupa, dan begitu seterusnya. Akhirnya ribut lagi,
saling cakar berebut benar.
Disinilah kita harus mengaktifkan hati dalam mengontrol akal. Keduanya adalah
pasangan. Apabila para filosof mengatakan manusia adalah makhluk berfikir (hayawān
nāṭiq), maka saya akan mengatakan bahwa manusia adalah makhluk berfikir dan
berhati.
Mampukah
kita melihat cahaya secara lebih utuh hanya dengan menggunakan satu mata?
0 komentar:
Posting Komentar