Oleh : Maulana Ikhsanun Karim
(CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Sukarno dahulu pernah berkata “Beri aku sepuluh orang pemuda,
niscaya akan kuguncang dunia”, mungkin kata-kata itu tidak asing lagi bagi
kita. Sudah banyak anak bangsa yang mengharunkan nama bangsa di kancah
internasional, mulai dari perlombaan akademik maupun non-akademik dan juga
penemuan-penemuan yang menakjubkan. Walaupun tidak terlampau banyak, namun kita
dapat simpulkan bahwa saat ini Indonesia tidak kekurangan orang-orang yang
hebat dan mampu merubah bangsa ini agar lebih baik.
Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini sungguh sangat memprihatinkan.
Berawal dari sebuah pesta demokrasi yang diselenggarakan di pusat ibu kota,
seharusnya dapat menjadi bahan percontohan bagi pesta demokrasi di daerah lain
di Indonesia. Namun, sungguh sangat tidak mungkin, karena apa yang terjadi di
sana justru sangat jauh daripada tujuan yang dijunjung dalam demokrasi itu
sendiri. Demokrasi yang seharusnya menjadi kekuatan rakyat untuk membangun
sebuah pemeritahan yang kuat, bersih, dan adil, justru dikotori penggunaanya dengan
cara saling fitnah dan menghujat demi nafsu kekuasaan mereka yang sangat
berambisi dengan itu. Yang pada akhirnya nilai-nilai yang ingin disebarkan
dalam demokrasi, menjadi hilang dan bahkan menjadi kambing hitam bagi mereka
yang berusaha merong-rong kedaulatan negeri ini. Demokrasi yang sejatinya
menjadi bahan edukasi diri agar bebas atau inependen dalam menentukan arah dan
pilihan, malah menjadi bahan unjuk dominasi dan intervensi golongan dan juga
mematikan kebebasan dalam menentukan pilihan.
Mungkin semua itu adalah cerita lalu yang sudah mulai dibuang dan
terabaikan, mengingat dari pesta itu sudah melahirkan sosok pemimpin baru untuk
kedepannya. Sebuah pesta yang bisa disimpulkan merpakan kesuksesan mereka yang
merasa mayoritas golongannya, atau bisa jadi hanya sebagian golongan saja yang
berfikir demikian. Dan yang selebihnya adalah hasil dari mereka yang sebagian
tersebut yang sukses menggalang suara dari mereka yang masih awam dengan dunia
pendoktrinan. Namun imbas dari pesta tersebut seperti tidak hilang-hilang dari
media kini, entah karena itu sangat efektif dan menjanjikan dalam suksesi
sebuah tujuan, atau karena memang cara tersebut memang sudah menjadi ciri khas
mereka dalam meyukseskan kehendak.
“Generalisasi” dalam segala hal, mencatut nama golongan dan juga
mengatasanamakan golongan mayoritas, seakan-akan sudah menjadi cara mereka yang
ampuh dalam memenangkan jajak opini dan pertarungan politik. Seolah-olah
merekalah duta dari golongan yang memiliki kepentingan atau suara. Apa yang
mereka serukan seolah-olah sudah mewakili dan juga kebutuhan dari golongan yang
mereka catut namanya. Itu semua sebenarnya menjadi sebuah kritikan yang
mendalam bagi masing-masing golongan untuk menghentikan ketegangan yang terjadi
dalam waktu dekat ini. Berusaha menahan dan menekan nafsu, hasrat dan ego dalam
diri masing-masing.
Seperti yang pernah kita ketahui sebelumnya bahwa nalar beragama umat
Islam di Indonesia terbilang unik. Mungkin ada yang pernah membaca tulisan yang
isinya tentang cocokologi dalam berfikir umat Islam, yang pernah di tulis oleh
Fadli Lukman di halam Geotimes pada tanggal 6 Januari 2017 dengan judul utama
yaitu “Nalar beragama Muslim Indonesia”. Bagi yang pernah membacannya pasti
akan paham bahwa yang terjadi di dalam tubuh Islam itu sendiri terjadi dualisme
yang berbeda, atau dalam bahasa saya yang simpel adalah standar ganda. Mengapa
bisa dikatakan menjadi sebuahh standar ganda, karena tidak dapat dipungkiri
kebanyakan apa yang mereka tolak adalah apa yang mereka pakai selama ini, sedangkan
apa yang mereka pakai adalah apa yang mereka tolak saat ini.
Mungkin agak sedikit membingungkan memang jika dilihat sepintas,
namun realita yang terjadi menggambarkan demikian. Dan yang sangat di sayangkan
adalah kejadian itu terus-menerus terulang dan kembali terulang seolah-olah
permasalahan tersebut adalah sebuah bola yang sedang dimainkan, berputar dan
menggelinding, saling oper dan juga saling berebut ingin mencetak gol. Sebuah
permasalahan pelik memang, bagaimana umat Islam akan maju jikalau apa yang
mereka persoalkan masih saja seputar permasalahan lama yang itu di ulang-ulang
terus setiap tiba masanya. Masalah apa saja itu, mungkin dapat dilihat kembali
di tulisan tadi yang saya sebutkan yang ditulis oleh Fadli Lukman.
Jika apa yang dikatakan oleh Fadli Lukman yaitu munculnya
cocokologi dalam cara berfikir Muslim di Indonesia, maka disisi lain saya
menemukan hal berbeda namun kejadiannya hampir sama, yaitu ditinjau dari sisi
sakralitas simbol. Ada apa dalam simbol? Dan apa yang menjadi sakral, dan
mengapa dikatakan demikian, itu yang akan saya bahas.
“Sakralitas” dalam dunia Islam bukanlah suatu hal yang tabu untuk
diperbincangkan. Dalam setiap agama apapun itu pasti memiliki sisi sakralitas
yang itu adalah sesuatu hal yang sangat dijaga dan dimuliakan keberadaannya. Sedangkan
lawan dari sakral itu sendiri adalah profan, atau simpelnya adalah hal yang
umum, tidak sakral dan tidak disucikan dengan proses yang ditentukan dan
disepakati. Dalam Islam sendiri tentu ada hal yang disakralkan entah itu suatu
yang berbentuk maupun tak berbentuk (tampak maupun tak tampak). Yang berbentuk
bisa jadi adalah benda suci yang dimuliakan ataupun sebuah simbol yang dianggap
sakral dan harus dijaga kesuciannya.
Al Qur’an dalam agama Islam adalah sesuatu yang paling sering
disakralkan, atau kita sering menyebutnya paling dimuliakan. Hal tersebut sudah
menjadi suatu hal yang diamini oleh kebanyakan umat Islam. Namun dalam
penggunaannya tak lepas dari banyak interpretasi dan penafsiran. Mengsakralkan
al Qur’an dalam artian adalah menjaga kemuliaanya adalah sebuah hal yang wajar,
namun apabila berlebihan dengan menyangkutpautkan dengan al Qur’an agar suatu
itu dianggap sakral adalah sebuah kekeliruan.
Mengsakralkan sesuatu yang tidak seharusnya sakral akan menjadikan
sebuah ketidakteraturan dalam sebuah tatanan, khususnya dalam kehidupan
beragama. Dalam contoh sederhana ialah ketika umat Islam mengaitka kasus
persidangan Ahok dengan angka-angka yang kemudian merujuk pada ayat al Qur’an
dan mengatakan bahwa itu adalah kejadian yang sudah ditakdirkan dan kita hanya
perlu menyimak dan meneriakan takbir seraya meyakini bahwa kejadian itu adalah
bukti dari laknat Tuhan yang diturunkan untuk mengadzab Ahok lewat kasus
penistaan agama.
Kemudian ketika umat Islam yang diminta berbondong datang untuk
melakukan aksi demo 411, 212, 313 dan seterusnya itu dengan ajakan yang sangat
teologis seolah-olah hal itu adalah sebuah panggilan jihad, karena sesuai atau
cocok dengan ayat dalam al Qur’an. Ditambah lagi semisal ada kejadian aneh
berupa awan berbentuk menyerupai lafadz Allah, kemudian mengklaim bahwa demo
tersebut sudah pasti mendapat restu dari Tuhan, dan juga bukti akan kemenangan
umat Islam.
Itu semua menjadi sesuatu yang sangat menggelikan jika terus
menerus berlanjut, umat Islam tidak mampu membedakan mana yang sakral dan mana
yang profan. Seperti halnya dalam ibadah ada ibadah yang sudah diatur (Mahdoh)
ada ibadah yang belum atau sama sekali tidak ditentukan caranya (Ghoiru
Mahdoh). Begitu juga dalam sebuah agama, ada hal yang memang itu adalah wajib
untuk dijaga kemuliaannya karena berkaitan dengan teologi (ilahiah), ada hal
yang sifatnya umum karena berhubungan dengan keberlangsungan hidup manusia
(manusiawi). Namun kebanyakan manusia selalu ingin hidup dalam lingkup yang
sakral, hal ini pernah disinggung oleh Mercia Eliade dalam teorinya “namun
kebanyakan manusia ingin terus hidup dalam zona yang sakral, sehingga
menganggap hal yang profan menjadi sakral dan mereka tak ingin keluar dari
itu”.
Jika hal itu terus berlanjut tentu akan sangat membahayakan, dan
lebih lagi jika hal tersebut menjadi sebuah budaya dikemudian hari tentu aka
membuktikan bahwa teori dari Emile Durkheim tentang teorinya dalam meneliti
agama di suku Aborigin menjadi terbukti juga dalam Islam. Ketika Islam hanya
menjadi sebuah simbol untuk mengumpulkan masa agar dianggap mendominasi
keberadaanya hingga menjadi sebuah kekuatan yang tak terkalahan dengan golongan
lain maka benarlah apa kata Durkheim. Bahwa agama hanyalah sebagai alat untuk
dijadikan sebagai pemersatu masa dan menggalang kekuatan untuk mengklaim
dominasi atas golongan yang lain. Padahal dalam Islam tidaklah seperti itu, dan
jauh lebih baik dari pada itu. Agama Islam sangat kompleks manifestasinya dan
tidak cukup dinilai hanya seperti sebuah simbol.
Wallahu a’lam bi al Showab.
By: Maulana Ikhsanun Karim
0 komentar:
Posting Komentar