Oleh: Ahmad Ahnaf Rafif*
Dua orang suami istri berbeda pendapat mengenai keutamaan keluarga
dan karir. Si istri yang baru dinikahi 2 bulan tersebut bersikukuh dengan
argumennya ingin menjadi wanita karir. Wajar saja, istrinya merupakan seorang
akademisi lulusan universitas ternama luar negeri. Namun suaminya melarangnya
untuk menjadi wanita apapun, kecuali mengurusi keluarga. Argumen si suami
lumayan masuk akal, ‘jika aku pergi pagi pulang malam, lalu siapa yang akan
mengurusi keluarga ?’ Si suami dengan karakternya yang pandai memikat hati
wanita akhirnya berhasil meyakinkan istrinya untuk tetap berada di dalam rumah,
meskipun impian si istri yang telah dibangun sejak muda untuk menjadi wanita
karir harus melayang dalam hitungan detik.
Dua orang yang sudah berteman sejak kecil, kali ini berselisih
paham mengenai pekerjaan mereka berdua. Sebut saja si A, yang terus membujuk
temannya yang masih satu daerah dengan si B untuk ambil cuti semester depan. Si
A beralasan, untuk membayar uang kuliah perlu mendapatkan uang banyak, dan itu
hanya mungkin jika mereka berdua ambil cuti kemudian mencari pekerjaan. Namun
ternyata si B tidak mau ambil pusing. Si B mempunyai pikiran untuk bisa lulus
lebih cepat, sehingga dia tidak mau ambil cuti. Si B lebih senang jika kuliah
sambil bekerja daripada memisahkan antara bekerja dan kuliah. Baginya, dengan
itu dia bisa mendapatkan dua hal yang ia inginkan, uang kuliah dan kuliah.
Ternyata si A tidak berpikiran demikian. Si A tetap tidak setuju dengan cara
berpikir si B yang terlalu tidak mau ambil pusing. Menurutnya, cara yang ia
pakai merupakan cara yang memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Ia terus membujuk si B untuk ikut, namun si B tetap berpegang pada
pendiriannya. Sampai suatu hari keduanya ditemukan tidak lagi bertatap muka,
hanya karena perbedaan kecil.
Dua kasus di atas contoh kecil bagaimana perbedaan terjadi di
sekitar kita. Kasus pertama, perbedaan suami istri yang bisa disikapi dengan
dingin meskipun salah satu di antara mereka harus ada yang mengalah. Itu karena
perbedaan di antara mereka, meskipun harus beradu otot dan mulut, namun
dilakukan di atas pondasi kecintaan. Perbedaan di antara keduanya -meskipun
dipandang negatif dan cenderung dihindari- tetap menjadi sebuah jalan bagi
keduanya untuk mencapai keluarga yang harmonis. Jika tidak ada perbedaan dan
perselisihan mungkin rasa cinta di antara mereka tidak akan teruji dan berkembang.
Meskipun banyak juga kasus perselisihan suami istri yang -sayangnya- berakhir
di meja pengadilan agama.
Kasus kedua merupakan contoh perbedaan yang tidak disikapi dengan
bijak, sehingga menyebabkan pecah kongsi antara keduanya. Si A dengan
pendapatnya berjalan sendiri meninggalkan temannya si B yang tetap kukuh dengan
pendapatnya. Entah kapan keduanya akan bertemu dan saling memahami. Seperti kebanyakan
kasus perselisihan di antara dua sahabat yang masih bisa dihadapi dengan dingin
hati.
Sedikit ingin menaikkan level kasus, di negara ini sudah banyak
kejadian yang bermula dari perbedaan-perbedaan yang sebenarnya masih bisa
dihindari jika mau. Melihat realita yang ada, seakan-akan negera ini kembali
lagi ke masa kerajaan-kerajaan Nusantara yang memiliki karakteristik parsial,
dimana ada kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan sebagainya. Semuanya
berjalan atas nama golongannya masing-masing dan dengan bangga menunjukkan
identitas ke-golongan-nya tersebut kepada publik. Semuanya bernanung di bawah
kerajaan atas nama organisasi/instansi/golongan/kelompok.
Jauh sebelum semua perselisihan terjadi di Indonesia sekarang ini,
seorang intelektual Indonesia jauh-jauh hari sudah menebaknya. Bahkan kini 13
tahun jasadnya sudah tiada, namun ramalannya akan perselisihan itu benar-benar
terjadi.
Masyarakat umum menganggapnya sebagai orang yang sekuler, karena
gagasannya tentang sekularisasi yang pernah ia sampaikan ke publik. Begitu juga
dengan statement nya yang sempat membuat geger dunia per-politik-kan maupun non
per-politik-kan Indonesian saat itu, ‘Islam Yes, Partai Islam No!”. Sontak
saja, gagasan dan statement nya saat itu mendapat respon dari masyarakat umum,
“Cak Nur Sekuler!”.
Sedikit banyaknya tuduhan terhadap Cak Nur tetap saja tidak
merubahnya menjadi seorang yang agamis, non-sekuler, negarawan, atau apa pun
itu. Sebab terdapat perbedaan pemahaman antara konsep ‘sekularitas’ yang
didengungkan Cak Nur dengan konsep ‘sekuler’ yang dipahami masyarakat.
Konsep sekularitas yang ditawarkan Cak Nur bisa dikatakan merupakan
konsep yang ingin memisahkan antara individu dengan golongannya. Adalah hasil
pengamatannya terhadap individu yang bukannya berpikir bagaimana membangun
Indonesia yang lebih sejahtera, namun justru memikirkan bagaimana nasib
golongannya ke depan, jika golongan lain yang berkuasa.
Kata sekuler digunakan oleh Cak Nur hanya untuk menjembatani
maksudnya dalam menjelaskan konsep pemisahan individu dengan golongannya. Namun
belum sempat Cak Nur berkata demikian, ia sudah terlanjur dicap ‘sekuler’ oleh
sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap konsep yang ditawarkan Cak
Nur merupakan konsep yang ingin memisahkan antara negara dengan agama. Ditambah
lagi dengan embel-embel bahwa Cak Nur merupakan lulusan Amerika, sehingga ingin
merubah Indonesia menjadi seperti Amerika.
Tuduhuan itu tentu saja bertolak belakang dengan apa yang
diinginkan Cak Nur. Justru apa yang digagas Cak Nur merupakan jalan untuk
mengurangi tensi perselisihan di Indonesia. Itulah sebabnya Cak Nur pernah mendeklarasikan
diri sebagai orang yang bersedia dicalonkan menjadi calon presiden pada tahun
2004. Walaupun banyak orang mulai dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat
awam yang memperbincangkannya. Sebab saat itu Cak Nur bukanlah anggota partai
politik manapun dan juga bukan aktivis politik. Namun pada akhirnya Cak Nur mengundurkan
diri karena melihat realita yang lebih buruk.
Itulah kenapa ia mendengungkan slogan ‘Islam Yes, Partai Islam No!’
Sebenarnya apa yang ia lakukan merupakan sebuah pelajaran bagi bangsa. Meminjam
apa yang disebut M. Wahyuni Nafis sebagai ‘desaklarisasi’, atau dengan kata
lain ‘pencopotan ketabuan dan kesaklaran dari objek-objek yang semestinya tidak
tabu dan tidak sakral’.
Bisa saja Cak Nur membuat suatu partai atau kelompok apa pun itu
untuk mengangkat eksistensinya lebih tinggi. Namun seolah-olah Cak Nur
mengatakan, ‘satu kelompok saja tercipta lagi, tensi perselisihan bisa semakin
memuncak’.
Disadari atau tidak, perbedaan memang merupakan suatu hal yang
lumrah. Bahkan junjungan kita mengatakan perbedaan adalah Rahmat. Namun
perbedaan apa yang dimaksud dalam sabdanya ? Padahal, jika melihat berbagai
peristiwa-peristiwa ‘berdarah’ maupun yang ‘hampir berdarah’ di Indonesia ini, jika
dirunut lebih jauh bahwa penyebab utamanya adalah perbedaan -yang dianggap
sebagai rahmat itu.
Kecuali, jika antar kelompok mendasari pereselisihan di antara
mereka atas dasar cinta, sehingga setinggi apapun tensi yang terjadi, tujuannya
tetap untuk memberikan yang terbaik untuk bangsa. Sedang kelompok hanyalah alat
untuk mencapai hasil yang terbaik.