Oleh:
Mas'udah*
Tulisan
ini terinspirasi ketika mengikuti majelis pengajian Kitab Tafsir Al-Ibriz,
salah satu Kitab Tafsir Al-Qur’an karya Kiai Bisri Musthofa, Kiai kharismatik
daerah Rembang, Jawa Tengah. Dalam suatu kesempatan majelis yang dihadiri
ratusan jama’ah tiap ahad pagi itu, Kiai Haris Shodaqoh, pengasuh Pondok
Pesantren Al-Itqon Mbugen, Semarang di sela-sela kesempatan membacakan tafsiran
ayat al-Qur’an dengan bahasa jawa pegon dan menjelaskan maknanya. Beliau
menuturkan mengenai asal usul munculnya karya tafsir bahasa Jawa yang tak lepas
dari peran Kartini.
Bukan
suatu hal yang tabu untuk ditelisik dalam bingkai sejarah bahwa Kartini
merupakan salah seorang perempuan Indonesia yang terkungkung dalam tradisi
patriarkal masyarakatnya. Ia harus berjuang merobohkan tembok adat-istiadat
perempuan Jawa yang menjulang tinggi. Perempuan hanya dijadikan sebagai kancan
wingking dalam urusan rumah tangga, dapur dan kasur. Bahkan dalam
spiritualitas, Kartini merasa adanya sekat yang terjadi antara kaum perempuan
dan laki-laki.
Dalam
literatur Biografi Singkat Kartini tertulis mengenai riwayat Kartini,
seorang perempuan Jawa yang berasal dari Jepara, Jawa tengah. Terlahir di
Mayong Jepara dari rahim M.A. Ngasirah dan ayahanda Raden Mas Ario
Sostroningrat seorang Bupati Jepara mengambarkan bahwa ia adalah seorang
priyayi. Di lain sisi, darah pesantren juga mengalir padanya bermuara dari ibunya, seorang putri dari Nyai Hajjah Aminah
dan Kiai Haji Madirono seorang guru agama di daerah Teluk awur Jepara.
Di
zaman feodalisme itu, Kartini harus berperang dengan tembok adat-istiadat yang
justru mendapat legimitimasi agama. Keinginannnya menjadi perempuan yang
memiliki kebebasan berpikir serta
persamaan derajat dengan kaum laki-laki, tidak lantas menjadikan ia
seorang yang menentang dan mencampakkan agama. Dalam keislamannya, bahkan ia
mendobrak tradisi adanya kejumudan dalam Islam sendiri. Kartini memang terlahir
sebagai perempuan beragama dalam keadaan yang sederhana. Kebenaran beragama
menjadi salah satu pergolakan hati yang
sering ia tulis dalam bentuk surat kepada sahabat-sahabatnya orang Belanda.
Kepada Zeehandelaar ia menuliskan, tepatnya 18 Agustus 1899 bahwa Al Qur’an terlalu
suci, tidak diperkenankan diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Orang hanya
membaca tanpa memahami dan mengetahui maknanya. Politik etis Kolonial Belanda
era 18-an menyelenggarakan pendidikan untuk pribumi namun tetap menentang
pemuka adat dan meminimalisir adanya pengajaran agama.
Suatu
ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya
Pangeran Ario Hadiningrat, seorang
Bupati Demak yang tengah mengadakan pengajian bulanan yang dihadiri oleh
keluarga besar. Dalam kesempatan itu, ia
meminta kepada sang paman untuk menemaninya menemui Kiai Haji Sholeh Umar yang
dikenal dengan Kiai Sholeh Darat. Di majelis itulah ia mengungkapkan isi hatinya mengenai kebenaran
agama. Ia mengajukan pertanyaan mengenai hukum seseorang yang berilmu tanpa
mengamalkan ilmunya.
Sang
Kiai tertegun dan balik bertanya apa alasan Kartini mengajukan pertanyaan
tersebut pada dirinya. Melalui Kiai Sholeh
Darat ia menuturkan kekaguman serta kegelisahnnya. Sanubarinya mengecap
rasa syukur tiada terkira, setelah
sekian lama ia tak pernah mengerti apa makna dari ayat-ayat yang ia baca, baru kali ini melalui kajian tafsir Al-Fatihah,
ia mengerti makna dari induk Al-Qur’an. Ia pernah belajar agama melalui asuhan kakek dan
neneknya yang merupakan guru agama.
Namun ia tak pernah puas dan belum mencintai agamanya. Ia merasa pendidikan
agama yang terimanya terkesan dogmatis. Padahal
sejatinya Al-Qur'an adalah pedoman umat manusia yang menjadi kompas
dalam mengarungi kehidupan menuju cahaya. Lalu bagaimana cara manusia khususnya masyarakat jawa yang awam bahasa Arab memaknai kandungan ayat-ayat
Al-Quran tanpa terjemah dan tafsir?
Kemunculan
Tafsir Bahasa Jawa
Tergugah
dari kritik Kartini itulah, Kiai Sholeh Darat memiliki inspirasi untuk menulis
sebuah karya tafsir dalam bahasa Jawa Faid
ar Rahman fii Tafsir al Qur’an yang
terdiri dari 13 juz, berawal surat al
Fatihah hingga surat Ibrahim. Tafsir tersebut ia hadiahkan kepada Kartini
tatkala pernikahannya dengan Bupati Rembang R.M.A.A. Djojo Adiningat pada 12
November 1903. Kiai Sholeh Darat meninggal pada 18 Desember 1903 dan berhasil
menerjemahkan satu jilid dari tafsir tersebut. Namun karya Kiai Sholeh Darat yang tak lepas dari gerakan emansipasi wanita
itulah cukup membuka pikiran Kartini mengenai Islam.
Di
tengah-tengah dimensi sosial dan komunitas pembaca yang beragam, karya tafsir
Kiai Sholeh Darat menjadi tonggak pemahaman masyarakat Jawa mengenai Islam.
Gerakan emansipasi Kartini memberikan peran yang berarti tatkala ulama memberi
label keharaman hukum menerjemah dan menafsirkan Al-Qur'an selain bahasa Arab.
Hingga bermunculan karya tafsir
bahasa Jawa lainnya yang melegenda di masyarakat Jawa dan eksis menjadi kajian
di masyarakat hingga kini. Antara lain Tafsir Al-Ibriz karya Kiai Bisri
Musthofa.
*Pemred SARUNG
0 komentar:
Posting Komentar