Oleh: Febrian Candra Wijaya
Jumat 17 Agustus 2018 Indonesia
merayakan ulang tahunnya yang ke-73. Tiga setengah abad bukanlah waktu yang
singkat bagi Republik Indonesia ini untuk berjuang terbebas dari cengkraman
penjajah. Perjuangan para founding fathers untuk mencapai sebuah kata
“merdeka” mesti dibayar dengan mahal. Segenap tumpah darah serta semangat
persatuan dan kesatuan menyatukan tekad mereka. Hingga akhirnya 17 Agustus 1945
menjadi puncak perjuangan dengan deklarasi pembacaan proklamasi sebagai tanda
bahwa Indonesia telah merdeka.
Usia 73 bukanlah angka sedikit.
Perjalanan setengah abad lebih itu telah menghasilkan banyak catatan yang
menorehkan tinta emas. Pun demikian juga masih banyak kekurangan dalam rentetan
cerita sejarah Indonesia. Karena bagaimanapun kelebihan dan kekurangan mesti
ada dalam segala sesuatu, termasuk Indonesia.
Semangat
persatuan dari para pendahulu yang berjuang mati-matian inilah agaknya menjadi
senjata terampuh yang harus dijaga sampai akhir nanti. Satu strategi besar yang
mampu membuat hengkang para kaum kolonialis dari bumi pertiwi. Sebagai generasi
penerus, sudah menjadi kewajiban setiap elemen bangsa untuk senantiasa menjaga
rasa persatuan. Tak lain dan tak bukan tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, akhir-akhir ini banyak ditemukan pada
media, terlebih media digital tentang berita-berita yang menjerumuskan pada
perpecahan. Berbagai isu yang beredar mengakibatkan pada saling caci dan hujat.
Mulai dari isu agama sampai ras dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Apalagi di tahun politik menjelang pemilihan presiden 2019.
Tak hanya disitu, salah satu masalah yang
‘terbesar’ adalah segelintir orang mengatakan bahwa Indonesia adalah Thaghut.
Pancasila dianggapnya sebagai kafir. Demokrasi pun tak luput dari hujatan.
Berbagai usaha dilakukan untuk menggulingkan pemerintah yang sah dan hendak
mengganti dengan sistem yang mengatasnamakan suatu golongan tertentu yaitu
Islam.
Menafikan kebhinekaan ibarat mencabut ruh
Indonesia. Mengingat masyarakat indonesia adalah heterogen. Maka akan menjadi
problem tatkala menerapkan sebuah sistem yang menonjolkan sebuah kelompok dan
tidak dengan lainnya. Tak tanggung-tanggung, perpecahan akan sangat rawan dalam
kondisi seperti tersebut.
Lebih jauh, bahwa berdirinya bangsa yang besar
ini bukan hanya dari keringat satu golongan saja. Akan sangat tidak adil jika
memaksa menerapkan sistem tersebut. Pun juga harus disadari bahwa sistem itu
hanyalah sebuah alat. Dalam artian alat tak bisa menghasilkan apa-apa jika yang
menjalankan tidak serius dan sungguh-sungguh serta cermat.
Kaitannya kali ini, generasi muda mempunyai
tanggung jawab yang besar dalam laju perjalanan Indonesia ke depan. Baik
buruknya negara sangat dipengaruhi oleh generasi penerus yang akan menjadi
tampuk roda. Sehingga sangat miris ketika melihat calon-calon penerus terjebak
dalam kubangan kebodohan, kemerosotan mental serta moral.
Inilah sebenarnya masalah terbesar yang di
hadapi oleh bangsa Indonesia. Di satu lini, ada yang berusaha menggerogoti
dasar-dasar negara dan ingin menggantinya. Sedangkan lini lainnya dengan
rusaknya generasi penerus bangsa yang membuat roda tak bisa berputar dengan
maksimal.
Maka tak ayal jika pertanyaan “Apakah
Indonesia sudah benar-benar merdeka?” sampai muncul ke permukaan. Ataukah hanya
kemerdekaan terbebas dari belenggu penjajah saja? Tidak dengan kebodohan dan
kemerosotan mental dan moral?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul bukan
tanpa dasar. Sebuah respon terhadap fenomena yang ada dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Momentum memperingati kemerdekaan mesti
menjadi salah satu cambuk serta memotivasi seluruh elemen bangsa agar
senantiasa mengisi serta menjaga keutuhan negara Indonesia. Semangat persatuan
dan kesatuan harus dipupuk subur dan ditanamkan kepada generasi penerus.
Begitupun dengan semangat nasionalisme, harus ditancapkan kuat-kuat dalam hati.
Sudah menjadi kewajiban yang tak dapat dipungkiri.