Entah berapa ribu
kali dalam sehari manusia di seantero dunia mengeluhkan takdir yang mereka
alami. Pun jutaan nasib tak luput dari aneka ragam murka dan caci. Nama
binatang, jenis makanan, hingga bentuk pekerjaan, orang-orang misuh
berkali-kali bersama luka dan lara yang tergores di hati.
Secara
mendasar, takdir dan nasib merupakan dua hal yang berbeda. Ibaratnya, takdir
adalah telur dadar sedangkan nasib ialah orak-arik. Keduanya sama-sama berasal
dari telur namun dengan jenis yang berbeda. Keduanya sama-sama pengalaman hidup
manusia namun dengan bentuk yang tidak serupa.
Takdir
berkaitan dengan hal-hal yang terjadi begitu saja. Artinya, sang penggenggam
tidak memiliki wewenang untuk menentukan ataupun memilihnya. Seorang anak tak
bisa memutuskan untuk lahir dari rahim siapa, begitupun peserta lomba hanya
bisa pasrah pada undian nomor berapa dia mendapat giliran untuk menampilkan
segala yang telah disiapkannya.
Adapun
nasib ialah hasil dari suatu ikhtiar dan semacamnya. Di dalamnya terdapat
takaran yang terukur jelas terkait proses kejadiannya. Maka dalam hal ini
manusia diberi kesempatan untuk menentukan hasil akhirnya dengan mencurahkan
daya dan upaya. Para pakar ilmu kalam biasa menyebut usaha ini sebagai iradah
juziyyah.
Jadi,
keduanya benar-benar berbeda. Betapa bodohnya manusia yang berharap bak
mandinya terisi penuh tanpa mengalirkan setetes air pun ke dalamnya. Begitupun
sia-sia usaha seorang pria terus mendekati sekuntum bunga desa jika takdirnya
justru untuk jatuh cinta pada kembang lainnya.
Memang
mustahil bagi manusia untuk mengetahui takdirnya sebelum ia telah terjadi di
hadapan mata. Dari hal kecil seperti undian sampai perkara besar semisal cinta
yang telah tercantum di atas, hingga menjelang puing-puingnya tiba di dunia ini
semua masih menjadi teka-teki. Karena takdir adalah rahasia Tuhan yang sengaja
disiapkan untuk menghadirkan rasa takjub pada diri hamba-hambaNya.
Kendati
demikian, sungguh sangat disayangkan apabila takdir dibiarkan lewat begitu
saja. Layaknya hadiah ulang tahun, selalu ada pesan tersendiri pada
masing-masing bentuknya. Kado Al-Quran bisa berarti sang pemberi berharap agar
penerima rajin membacanya. Maka takdir mendapat undian giliran terakhir mungkin
dimaksudkan agar si fulan dapat menghadirkan penutup yang luar biasa.
Maka
dari itu, teramat penting bagi para binatang berakal untuk mencermati setiap
takdir yang digariskan untuk mereka. Alkisah ada seorang alim yang berkelana ke
beberapa sudut dunia. Berkali-kali dia membuka toko dengan beberapa macam
barang dagangan, namun semua yang ia tawarkan hampir sama sekali tidak laku di
pasaran. Singkat cerita, pada akhirnya dia sadar bahwa ketidakberhasilannya
dalam berdagang menunjukkan bahwa ada tugas lain yang harus diemban, yakni
menjadi seorang guru, mengajarkan ilmu dan kebijaksanaan kepada orang-orang
yang membutuhkan.
Kecenderungan
pada satu sisi juga termasuk bagian dari takdir. Meski para ulama motivasi
berkata bahwa itu tidak lepas dari pengalaman, keberadaan faktor yang tak
diusahakan tetap tabu untuk dinafikan. Sederhananya, takdir telah menempatkan
seseorang pada suatu lingkungan yang notabene membentuk karakter dari manusia
itu sendiri. Lebih ke belakang lagi, gen yang diturunkan oleh bapak maupun ibu
turut andil dalam membangun watak pribadi.
Takdir
macam ini juga sangat perlu diperhatikan. Dengannya manusia dapat melihat di
bagian mana mereka layak mengambil peran. Laki-laki yang condong pandai
mengenai elektronik tak perlu memaksakan diri untuk cakap berolahraga. Dan
perempuan yang cenderung tampak indah dengan tampil sederhana tidak usah
repot-repot menghias diri hingga terlihat gemerlap bak permata.
Intinya,
semua akan menjadi gagah tatkala menjalani jalur yang semestinya. Sialnya,
banyak pria ataupun wanita terlalu bergairah untuk meraih tahta yang bukan
bagiannya. Akibatnya, takdir yang telah dituliskan justru menjadi terabaikan.
Fatalnya, terjadilah persaingan-persaingan yang sebenarnya sama sekali tidak
diperlukan.
Memang,
bersaing dalam kebaikan itu sesuatu yang bagus untuk dilakukan. Hanya saja,
untuk apa menanam kurma di Indonesia? Apa gunanya memberi makan kucing dengan
asam jawa? Lupakah anak cucu Adam bahwa pemaksaan menguasai segalanya adalah
lambang keserakahan?
Terlalu
klise untuk mengatakan bahwa perbedaan adalah secarik anugerah keindahan. Namun
sejenuh apapun manusia mengungkapkannya bukan berarti ia telah kehilangan
kebenarannya. Layaknya cinta pada seorang wanita, pengetahuan tanpa pengamalan
hanya menjelma sebagai idrak, bukan ‘ilmu yang dapat meninggikan
derajat pemiliknya.
Yang Menjengkelkan
Segala
sesuatu yang diformalkan akan kehilangan keberkahannya. Namun ketika kesadaran
sudah tidak bisa diandalkan, membentuk suatu sistem adalah jawaban satu-satunya.
Dan untuk menjalankannya, dibutuhkan seorang pembimbing yang kemudian orang
Indonesia biasa menyebutnya dengan istilah pimpinan.
Pimpinan
setidaknya membutuhkan dua hal agar dapat menunaikan amanah dengan baik juga
benar, yakni manajemen dan kepemimpinan. Adapun yang pertama ialah teknik dan
taktik untuk mencapai suatu tujuan. Rasio manusia digunakan sepenuhnya untuk
memperhitungkan segala kebutuhan dan kemungkinan guna mencapai hasil yang
diinginkan.
Berbeda
dari manajemen, kepemimpinan tidak terlalu melibatkan otak beserta
perangkat-perangkatnya. Daripada pikiran, ia jauh lebih membutuhkan perasaan.
Karena hakikatnya sendiri adalah sebuah seni untuk mempengaruhi orang lain
entah itu untuk berhenti atau justru terus berjalan.
Orang-orang
yang ahli dalam seni ini kemudian dinamakan pemimpin. Golongan ini mampu
menyentuh hati masyarakat sekitarnya berikut menggerakkan mereka ke arah
tertentu. Penduduk yang mampu mengajak tetangga-tetangganya untuk ikut turun
melaksanakan kerja bakti merupakan salah satunya. Siswa yang biasa sukses
menarik teman-temannya pergi bolos sekolah adalah contoh lainnya.
Dibanding
manajemen, kepemimpinan lebih jarang tercantum dalam daftar kepemilikan.
Kenyataan ini termasuk salah satu dari kemurahan Tuhan dalam takdir yang Ia
gariskan. Karena andaikan pada satu perkumpulan terdapat terlalu banyak pihak
yang mengarahkan dengan pelbagai macam jalan, manusia hanya akan terjebak dalam
jurang kebingungan.
Dari
jumlah yang sedikit itu harus ada salah satunya yang menduduki kursi pimpinan.
Jika tidak, bersiaplah untuk bertemu bencana. Para pemimpin akan terbosankan
oleh kekecewaan. Kemungkinan terburuknya, mereka bisa melakukan tindak
pemberontakan.
Fenomena
semacam ini sudah banyak terjadi di muka bumi. Bukannya memberikan arahan, para
pimpinan malah dikendalikan oleh anggotanya sendiri. Hampanya ketegasan
membuatnya semakin mudah ternodai. Berjalannya suatu sistem hanya menjadi
sebuah mimpi.
Sayangnya,
kini bobroknya aura pimpinan semakin luas menguasai dunia. Apakah alam sudah
mengutuk manusia? Atau mungkin kiamat sudah hampir tiba? Ah, meminum
segelas coklat memang tak senikmat jatuh cinta.
Tidak
mengherankan jika para pemimpin enggan menduduki tahta pimpinan. Meski diberi
sejumlah hak dan kekuasaan, menjadi pengatur barisan tetap bukanlah pekerjaan
yang mudah. Ketika majalah rutinan gagal terbit, akankah orang-orang
menyalahkan sang editor?
Di
sisi lain, akan menjadi sangat lucu ketika pimpinan justru menyalahkan
orang-orang yang dia arahkan. Itu menandakan bahwa dia sebenarnya belum
menyadari betapa sikap saling pengertian begitu dibutuhkan. Padahal, seorang
ketua mesti selalu bersikap netral agar tatkala para anggotanya saling
menghujat, nasehatnya masih bisa didengarkan.
Separah
apapun beratnya, menanggung segala beban tersebut hukumnya fardhu kifayah
bagi para pemimpin. Jika tak satupun mengambilnya, berdosalah mereka semua.
Karena bagi manusia menjadi baik saja tidak cukup. Mereka juga harus bisa
bermanfaat, dan manfaat tertinggi bagi seorang pemimpin adalah menjadi
pimpinan.
Ketika
salah satunya sudah menjadi pimpinan, apa yang harus dilakukan pemimpin
lainnya? Sederhana saja, mereka cukup membantu menggerakkan masyarakat untuk
menjalankan sistem sebagaimana mestinya. Bukan malah berusaha menjatuhkan ketua
hanya karena merasa dirinya lebih layak dan pelbagai macam alasan lainnya.
Gambaran
paling sederhana dapat ditemukan pada tempat-tempat outbond. Hampir bisa
dipastikan bahwa dalam satu kelompok terdapat beberapa pemimpin meski tetap
dengan satu ketua. Jika mereka bersikap besar kepala, yel-yelnya tentu takkan
terdengar berirama. Sebaliknya, apabila mereka mengedepankan kerjasama, cukup
dengan menampilkan jargon saja mereka akan terlihat mempesona.
Memang,
menjadi pemimpin di balik layar kini semakin jarang diminati. Godaan berhala
kesuksesan mendorong para manusia untuk terus menambah pencapaian tertulis
dalam data diri. Jika terus begini, keberadaan mereka akan segera punah
setidaknya dari bumi pertiwi. Padahal, pahala dari para pejuang tanpa pamrih
itu begitu besar lantaran setiap darah dan keringat yang ia curahkan seringkali
tidak manusia hargai.
Maka
pada akhirnya semua kembali pada diri pimpinan. Seni mempengaruhi yang dia
miliki harus digunakan secara proporsional agar para pemimpin lainnya tidak
justru melakukan tindakan-tindakan binal. Mentraktir makan, mempertimbangkan
masukan, dan memberi kesempatan untuk berperan adalah beberapa trik sederhana
yang bisa dipraktekkan.
Mudah
dituliskan, namun sangat rumit dilaksanakan. Karena manusia memiliki ego yang
pada dasarnya memang sulit untuk dikesampingkan, terutama bagi mereka yang
merasa bahwa dirinya memiliki keunggulan. Maka dari itu, selain memeras kepala,
pimpinan juga harus rajin makan hati demi tercapainya kesejahteraan sejati.
Masih
banyak lagi cobaan-cobaan yang harus dihadapi seorang pimpinan. Salah satu
contoh lainnya adalah berhadapan dengan orang-orang yang dikuasai oleh sikap
ketidakpedulian. Jangankan mengambil peran, sekedar melaksanakan kewajiban saja
mereka enggan. Tidakkah mereka menyadari bahwa yang mereka tanggung adalah
beban paling ringan?
Di
samping itu, berdasarkan jenis perkumpulannya, tentu ada persoalan-persoalan
lain yang tak boleh luput dari perhatian, semisal rusaknya alat musik,
cederanya ligamen pesepakbola, dan lain sebagainya. Maka keharusan seorang
ketua bukanlah mampu melakukan segalanya, melainkan mengetahui semua yang
terjadi pada orang-orang di bawahnya. Dengan demikian, dia dapat menentukan
jalan keluar macam apa yang paling tepat dilakukannya. Dan juga, dia bisa
menjawab setiap kali ada pihak bingung maupun sombong datang bertanya.
Demikianlah
secuil permasalahan yang pasti dihadapi oleh para pimpinan, dan masih banyak
labirin-labirin ke-jancuk-an lainnya. Maka tidak mengherankan jika
sosoknya akan menjadi wajah bagi para masyarakatnya. Jika sang raja cenderung
murah hati, maka para rakyat setidak-tidaknya suka berbagi pada sesama meski
dalam takaran yang tak sama. Begitupun jika sang raja cenderung ambisius, maka
para rakyat setidak-tidaknya senang berlomba-lomba meski dalam tingkat yang tak
setara.
Agar
dapat memperringan diri dalam menunaikan amanah, seyogyanya seorang pimpinan
merangkul para pemimpin dalam paguyubannya. Sebab meski secara pribadi mereka
wajib melakukannya, keharusan itu bisa saja sirna apabila sang raja malah
mempertontonkan keakuannya. Harapan dapat bekerja bersama berdasarkan
bagian-bagiannya layaknya Soekarno dan Soedirman justru menyisakan kekecewaan
pada akhirnya.
Syukur
Tuhan menganugerahkan kegelisahan dalam diri para pemimpin. Hasrat inilah yang
kelak tak henti-hentinya memanggil mereka untuk pergi berperang menumpas
kezaliman. Dengannya mereka akan terus memperjuangkan bukan hanya happiness
tapi juga well-being bagi masyarakat sekitar. Jika tidak, husnuzzan
saja, mungkin mereka belum diilhami kekuatan cinta sebelah tangan.
Terlahir
sebagai seorang pemimpin memang takdir yang menjengkelkan. Tanggung jawab yang
diemban sebegitu besarnya sampai-sampai untuk sekedar mencari ketenangan saja
jarang mendapat kesempatan. Terlebih lagi seringkali muncul dilema antara
menerima amanah menjadi pimpinan dengan seabrek penderitaan atau menjadi pemain
bayangan yang seringkali terlupakan. Puncaknya, pengorbanan pahlawan mana lagi
yang ingin rakyat dustakan? Wallahu a’lamu bish-showab...
*Eks anggota
Departemen Jurnalistik CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga.
0 komentar:
Posting Komentar