Oleh : M.F Niam*
Idiom
santri seringkali disematkan kepada orang yang menimba ilmu agama di pesantren.
Kata santri sendiri menurut beberapa sumber berasal dari bahasa sansekerta
yakni Shastri yang memiliki akar kata sama dengan sastra yang bermakna
kitab agama. Dalam arti yang luas santri
tak hanya orang yang pernah bermukim atau menimba ilmu di pesantren, tetapi
orang yang memiliki adab layaknya santri, begitu kiranya definisi santri menurut
Gus Mus.
Hari ini kita telah memperingati hari santri
yang ke-3 sejak dikeluarkannya Keppres RI No. 22 tahun 2015 lalu. Setelah
beberapa dekade sejak republik ini berdiri kaum santri termarginalkan oleh
sejarah. Tidak banyak disinggung dalam buku sejarah peristiwa heroik kaum
santri memperjuangkan kemerdekaan. Kini setelah mengalami proses panjang
akhirnya eksistensi santri sebagai unsur yang turut andil dalam memerdekakan
republik Indonesia telah diakui dengan ditetapkanya Hari Santri Nasional pada
22 Oktober.
Pemilihan tanggal 22 oktober sebagai hari
santri bukan asal serampang pilih, akan tetapi pada tanggal tersebut terukir
gurat perjuangan darah santri dalam membela NKRI. Penetapan tersebut tak luput
pada peristiwa historis masa lalu. Jika kita putar bola waktu menuju 72 tahun
yang lalu tepatnya pada tanggal 22 oktober 1945 Hadratussyaikh KH. Hasyim
Asy’ari mengultimatum Resolusi Jihad yang berisikan kewajiban umat muslim untuk
jihad membela tanah air dalam radius 90 km dari kota Surabaya. Sebagai ‘Tokoh
Santri’ waktu itu KH. Hasyim Asy’ari menggunakan pengaruhnya untuk menggerakkan
nasionalisme dan menanamkan ‘Hubbul wathan minal iman’ kedalam hati para
santri. Hal tersebut dilakukan berkenaan dengan masuknya sekutu yang diboncengi
NICA, yang ingin kembali menjajah Indonesia
setelah Jepang kalah pada perang dunia. Padahal ketika itu Indonesia telah memproklamirkan
kemerdekaannya pada 17 agustus 1945.
Resolusi tersebut menyebabkan terbunuhnya Jendral
Mallaby dan memantik peristiwa heroik 10 November yang sekarang kita kenal
sebagai Hari Pahawan Nasional. Dua jendral sekutu Inggris skaligus, Jendral
Robert Guy Loder Symon dan Jendral Mallaby kehilangan nyawanya dalam peristiwa
ini. Perlu dicatat bahwa 2 jendral sekutu yang mati ketika perang selama ini
hanya ada di Indonesia. Begitu heroiknya peran santri dalam memerdekakan
republik ini, bahkan ada suatu cerita mengatakan bahwa yang melempar granat
kepada mobil Mallaby hingga tewas adalah seorang santri bernama Harun.
Kini gerakan santrisme “Ayo Mondok” telah
kembali menggeliat, bertagar dan terus digaungkan. Kebangkitan santri mulai
nampak kembali semenjak dibentuknya bagian PD Pontren dalam Kementrian Agama
pada zaman Gus Dur. Hal tersebut berefek domino pada pendidikan pesantren yang mulai tumbuh bak
cendawan di musim hujan. Masyarakat telah sadar bahwa pendidikan spiritual
amatlah penting dalam membentuk moral bangsa. Di balik itu arus globalisai
telah menembus tembok pesantren sehingga pemfilteran dan daya proteksi harus
semakin dikuatkan. Jangan sampai arus globalisasi merusak arwah santri yang
sebenarnya.
Model pesantren yang ditawarkan oleh Ulama
Nusantara yakni mengombinasikan spirit nasionalisme dan spiritualisme menjadi
benteng utama kesatuan NKRI. Santri diharapkan kedepannya dapat ikut andil
membangun negeri dengan melahirkan pemimpin-pemimpin yang nasonialis dan
religius. Kini perang tak lagi menggunakan bayonet atau senapan. Perang yang
dihadapi santri kali ini lebih tangguh dan kompleks. Para santri harus
menggunakan senjata ideologi yang matang untuk melawan musuh besar yakni
radikalisme dan Westernisasi yang merugikan. Sebagai generasi santri milenial
kita diharapkan dapat memanfaatkan alat komunikasi dengan cermat dan dapat
memlibas segala macam berita hoax yang merugikan kesatuan negara. Semoga tema Hari
Santri kali ini ‘Dengan Santri Damailah Negeri’ menjadi kenyataan dan terus
bersama mengawal dinamika NKRI kedepannya, Semoga.
*Penulis adalah
Mahasiswa PBSB UIN Sunan Kalijaga Pogram Studi Ilmu Hadis Semester 1.
Mantap gus niam 😎
BalasHapusMasuk pak eko😊👍🏻
BalasHapus