Sering
sekali saya mendengar bahwa laki-laki lebih menyukai perempuan yang tidak
berdandan. Ekspresinya beragam, seperti “ngapain sih pake dandan tebel-tebel
segala”, “cowok tu lebih suka yang natural tau”, “kamu tu lebih cantik kalo
ngga pake apa-apa loh”, dan lain sebagainya yang menurut saya sangat membuat
para perempuan berpikir “apa banget sih”. Ekspresi-ekspresi yang diutarakan
laki-laki bahkan tidak sebatas mengomentari dandanan saja. Terkadang, mereka
menyentil apa yang dipakai perempuan, bentuk wajah, bentuk bagian tubuh, atau
bahkan bau badan.
Suatu
ketika di sebuah forum, teman saya kebetulan sedang menderita sakit mata dan
mengenakan kacamata untuk menyembunyikannya. Saat ia datang, teman laki-laki
saya mengatakan, “eh kamu kok pake kacamata gitu? Gedean kacamatanya daripada
mukamu”. Saya tahu ia barangkali tidak bermaksud menyakiti teman saya itu.
Namun, dalam hati kok saya merasa perkataannya terlalu jleb. Sontak saya
merasa perlu protes, yang kemudian keluar dari mulut dengan “eh kamu tu jangan body
shaming gitu dong”. Ia lantas mengatakan bahwa ia hanya berusaha berterus
terang atas apa yang dipikirkannya—walaupun saya tetap saja tidak sepenuhnya
setuju.
Semacam
itu pulalah yang biasanya saya hadapi: dikomentari ini itu mengenai alasan
pakai make up, ditanyai mengenai mengapa sekarang sering pakai gincu,
atau bahkan dikomentari perihal eyeliner yang sudah mbleber ke
mana-mana. Inilah barangkali yang menyebabkan saya akhirnya menyembur teman
saya itu. Disadari atau tidak, jika ada sesuatu yang dianggap berbeda atau
berubah dari seorang laki-laki atau perempuan—terutama yang berkaitan dengan
penampilan, pasti akan ada banyak komentar yang menyertai. Namun, yang menjadi
masalah adalah ketika perubahan tersebut kemudian menimbulkan stigma-stigma
tertentu.
Terkait
komentar laki-laki tentang perempuan yang saya utarakan di awal, dapat saya
katakan bahwa perempuan tidak selamanya ingin dipuji atau diperhatikan ketika
ia mencoba menghias dirinya. Ungkapan “hello laki-laki, jangan kegeeran deh
kalian” mungkin mewakili suara perempuan yang merasa tidak terima ketika
mendengar para lawan jenis yang nyinyir itu. Bagi saya sendiri secara
subjektif, berdandan adalah ekspresi kesenangan saya akan keindahan, selain
juga yang baru-baru ini menjadi hobi buat saya. Masa bodoh sekali ketika
mendengar beberapa orang berkomentar negatif tentang dandanan saya, toh saya
juga bukan berdandan buat mereka.
Sama
halnya dengan persepsi negatif berdandan, ketika laki-laki mengomentari bentuk
tubuh atau penampilan perempuan pun pada hakikatnya dalam pikiran mereka sudah
tertanam sebuah konstruksi kecantikan atau idealitas penampilan perempuan itu
sendiri. Padahal, seperti yang pasti dirasakan oleh laki-laki juga, perempuan
tidak ingin ditentukan standar kecantikannya—meskipun kini kuasa media sudah
memonopoli standar itu dan banyak pula perempuan yang berusaha mengikutinya.
Laki-laki tentu tidak mau dibilang tidak keren hanya karena perawakannya tidak
macam Jojo yang tubuhnya bak roti sobek. Mereka juga pasti ogah dibilang tidak
tampan hanya karena wajahnya tidak menyerupai Salman Khan.
Pada
akhirnya, meskipun di sini saya kurang lebih banyak menyenggol laki-laki yang
punya persepsi macam-macam mengenai perempuan, saya juga tidak dapat mengklaim
bahwa perempuan tidak pernah punya persepsi dan standar tertentu mengenai
laki-laki. Hal-hal yang demikian tak dapat dipungkiri akan tetap ada. Namun,
persoalannya kembali pada bagaimana kita mengutarakannya kepada si objek, entah
itu perempuan atau laki-laki. Ya, minimal kalo punya standar tertentu mbok
yo jangan diutarakan secara terus terang banget lah, wong setiap
orang juga punya hak masing-masing buat mengekspresikan dirinya. (shy2cat)
0 komentar:
Posting Komentar