 |
Source: Google |
Ama. Begitu aku dan
kedua adik memanggilnya. Sosok yang sangat berharga dalam hidupku. Ama yang
mengajariku tentang dunia, ketangguhan, tanggung jawab, dan kesabaran. Ya
walaupun sebenarnya aku lebih banyak mewarisi sifat pemarah ayah ketimbang ama.
Tapi melihat semua perjuangan ama selama ini, aku banyak belajar tentang
kesabaran, walaupun aku belum sesabar ama.
Semua
orang tentu punya cerita istimewa tentang ibu masing-masing. Sosok yang sangat
berharga seperti ibu tentu punya tempat istimewa di hati anak-anaknya. Begitu
juga seorang anak di hati ibunya. Mungkin jika semua kasih sayang yang ada di
muka bumi ini berubah bahkan hilang, kasih sayang ibu akan tetap sama. Begitu
juga sosok yang sering kupanggil ama. Kata-katanya yang selalu kuingat adalah
“sayang amak ka anak sapanjang jalan, sayang anak ka amak sapanjang pinggalan”
(kasih sayang ibu kepada anaknya sepanjang jalan, sementara sayang anak ke ibu
sepanjang pinggalan). Ama selalu mengatakan
itu untuk menunjukkan rasa sayangnya padaku dan adik-adik.
Aku
masih ingat, saat dulu masih seusia SD. Ama selalu mengecup kami sebelum pergi
sekolah, bahkan memeluk. Ama kadang meminta kami libur sekolah. Alasannya
sederhana, ama rindu. Menurutku pernyataan ama saat itu sangat aneh. Bukankah
kami selalu di rumah. Hanya saat sekolah dan mengaji kami meninggalkan ama.
Tapi belakangan aku mulai memahami bahwa betapa ama sangat kesepian. Betapa
kehadiran seorang anak sangat berharga bagi ama. Saat kami mulai dewasa dan
tidak mau dikecup di depan umum, ama diam-diam melakukannya saat kami terlelap.
Kerap kali ama menghampiri kami yang tertidur. Diam-diam memakaikan selimut,
mengelus wajah, lalu mengecup. Bahkan saat sedang ada nyamuk, ama tak akan
tidur sebelum semua nyamuk itu mati. Ama tak akan membiarkan seekor nyamuk pun
menghisap darah kami. Mungkin ini terdengar berlebihan, namun ini yang terjadi.
Bagi ama, kami adalah segalanya.
Terkadang
saat semua orang menghinaku, mengolok-olok, bahkan mencaci, kehadiran ama akan
selalu membuatku merasa menjadi orang paling berharga di muka bumi. Ama selalu
bilang bahwa anaknya adalah anak-anak yang hebat, cantik dan tampan, dan sangat
berharga. Walau kutahu semua pernyataan ama terkadang berlebihan dan tidak
benar, tapi aku tahu rasa sayang ama telah membutakan matanya. Menurut ama,
kami adalah kebahagiaannya.
Mimpi
ama untuk selalu bersama kami kuhancurkan untuk pertama kalinya saat memutuskan
masuk pondok. Saat itu ama menyuruhku untuk sekolah di pondok dekat rumah saja,
tapi aku malah memilih pondok yang beda provinsi. Keputusanku untuk masuk
pondok bukan karena ingin menimba ilmu agama. Aku ingin pergi, kalau bisa
sejauh mungkin dari rumah. Entah kenapa sikap egois yang satu ini tak dapat
kuubah bahkan sampai keputusan untuk kuliah ke Jogja. Semuanya karena aku tak
ingin dekat rumah. “Aku ingin bebas”. Itu yang selalu kukatakan pada ama.
Awalnya tentu ama merasa berat. Bertanya apa aku sepenuhnya yakin dengan
keputusan yang kuambil. Namun pada akhirnya ama harus mengalah pada sikap keras
kepalaku. Pun saat melepasku ke Jogja, ama menangis. Namun aku pura-pura tak
tahu. Menutup mata dan menyembunyikan tangisku dari dunia. Sejujurnya bersama
ama lebih menyenangkan. Tapi ada banyak hal yang membuatku tak betah di rumah.
Dan menurutku pergi jauh adalah solusinya walau sosok ama selalu hadir dalam
kerinduan.
Aku
bukanlah anak yang terlahir dari keluarga kaya. Rumah kami sederhana, tak besar
tidak juga kecil. Tapi yang melakukan semua pekerjaan rumah adalah ama. Aku
sangat jarang menyentuh dapur, sapu, dan cucian. Bukan karena aku tak mau atau
malas, tapi ama selalu melarangnya. Saat aku ingin mencuci pakaian ama hanya
menyuruhku duduk dan mengatakan biar ama yang kerjakan. Saat ingin belajar
memasak pun ama selalu melarang, takut jika tanganku luka terkena pisau atau
minyak panas. Hanya sesekali ama meminta bantuan, saat lelah dan sakit. Ama pun
tak pernah memberikan pekerjaan yang berat. Ya, ama sangat memanjakanku. Saat
kukatakan bahwa kita bukan orang kaya dan tak perlu memanjakanku, ama bilang
tak perlu jadi anak orang kaya untuk ama manjakan, cukup jadi anak ama. Alhasil
aku baru belajar semuanya setelah beberapa tahun di pondok.
Pun
saat lebaran tiba, ama selalu punya uang lebih banyak untuk baju lebaranku.
Saat kukatakan aku tak mau baju lebaran karena kutahu keuangan keluarga sedang
tak baik, ama akan mengeluarkan tabungannya untukku dan adik-adik. Alasannya
sederhana, ama tak ingin anaknya pakai baju lama di saat semua teman-teman kami
punya baju baru. Ama selalu bilang “kita boleh miskin, tapi jangan sampai orang
tahu kita miskin, memandang kita rendah. Sesulit apapun hidup kita, orang hanya
boleh melihat kebahagiaan kita nak. Kita harus terlihat tangguh, agar orang tak
meremehkan kita”. Perkataan ama memang tak pernah bisa kulupakan.
Puncak
dari semuanya adalah beberapa minggu lalu, saat otakku mencoba dewasa. Khawatir
jika setelah kuliah nanti aku tak bisa dapat pekerjaan. Bagaimana jika nanti
aku hanya akan jadi pengangguran dan tak bisa menghasilkan uang. Sementara
selama ini orang tuaku telah banyak mengeluarkan uang. Bagaiman jika aku tak
bisa membahagiakan ama di akhir usianya nanti. Bagaimana jika lagi-lagi aku
hanya membebani ama. Hal-hal menakutkan itu muncul di kepalaku. Sampai aku
mengadukan semuanya pada ama. Dan aku terkejut dengan jawaban ama.
“Astaghfirullah
nak, ama sakolahan anak ama ndak untuak pitih do. Jan itu yang Iya pikiaan.
Anak ama ndak pernah mambarekan ama do. Kalau iyo Iya ndak dapek karajo do, bia
ama yang cari pitih. Salagi ama kuaik, ama ndak akan mambarekan anak ama do.
Anggak kok sampai balaki Iya beko, ama masih talok manangguang anak amanyo. Jan
mode tu Iya bapikia nak. Iya alah kuliah se lah sanang ama. Ama ndak ka
mamintak banyak do.” (astaghfirullah nak, ama menyekolahkan anak ama bukan
untuk mencari uang. Jangan pernah berpikir begitu. Anak-anak ama tak pernah
jadi beban buat ama. Kalau memang nanti gak dapat pekerjaan, biar ama yang
kerja. Selama ama mampu, ama gak akan jadi beban buat anak-anak ama. Walupun
nanti sampai kamu punya suami, ama masih kuat membiayai kamu. Jangan lagi
berpikir begitu nak. Kamu udah kuliah aja ama sudah bahagia. Ama gak akan minta
banyak).
Setelah
semua keegoisanku, kedurhakaanku, sikapku yang keras, dan sering kali tak
memberi ama kabar, ama masih bisa berkata seromantis itu. Seketika air mataku
mengucur. Saat itu aku benar-benar merasa menjadi orang paling berharga di
dunia. Terima kasih ama. Walaupun dengan semua kedurhakaanku ama masih sangat
menyayangiku. Jika seandainya ku bereingkarnasi ma, aku tak akan minta terlahir
di keluarga yang kaya, aku tak akan minta lahir dari perut seorang ratu. Aku
hanya akan minta menjadi anak ama kembali. Terima kasih ma telah menjadi
duniaku selama ini. Maaf, karena selama ini aku hanya bisa berkata “terima
kasih”, tanpa balasan apa-apa. Selamat hari ama ma, teruslah menjadi duniaku.
Karena aku sangat menyayangi ama.
*pinggalan: bambu yang digunakan untuk
mengambil buah dari pohon. Biasanya panjang bambu itu 3-4 meter.
By : Nadyya Rahma Azhari