oleh:
In’amul Hasan
Tepat
pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari
Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah
dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnya -Haji Abdul Karim Amrullah-
hingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil
ikan di kolam orang lain. Dengan melihat kenakalan ini, memberikan anggapan
kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang
ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang. Ketika
beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada
akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat
mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari
Univ. al-Azhar, Cairo.
Terlepas
dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih
tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari perdebatan Islam dan adat
Minangkabau yang ‘mengikat’ ayahnya, mempertahankan Kemerdekaan RI, menjadi
Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia), hingga adiknya –Abdul Wadud Karim
Amrullah (Willy Amrull) - yang menjadi seorang pendeta.
Pertama,
beliau amat menyesalkan ayahnya yang terlalu banyak menghabiskan waktu di Tanah
Adat demi mengkritisi Adat Minangkabau sehingga ia tidak terlalu mempedulikan
Tanah Air. Buya Hamka dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau (1984)
mengatakan, “Terang-terangan Dr. Abdul Karim Amrullah (Ayah Hamka) menyatakan
di tanah pembuangannya, seketika dekat saat wafat: Adatlah yang mengorbankan
saya!”
Sepertinya
Buya Hamka berusaha memperbaiki ‘kesalahan’ ayahnya. Sejak kecil ia ingin
sekali meninggalkan Tanah Minang. Ia mulai pergi ke Tanah Jawa, berkenalan
dengan Muhammadiyah, bertemu dengan Bung Hatta di Yogyakarta, belajar dengan Ki
Bagus Hadikusumo, mengenal Serikat Islam, belajar berpidato, bahkan pada saat
itu ia telah berniat untuk tidak menikahi gadis Minang. Namun, ia dipanggil
pulang oleh ayahnya untuk dinikahkan dengan dengan orang kampungnya sendiri
yang masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga ayahnya.
Menurutnya,
memang benar bahwa orang Minangkabau menjadi besar namanya jika ia telah
meninggalkan (merantau) Tanah Adat. Misal, Syekh Ahmad Khatib yang mengkritisi
adat Minang dan kemudian menetap di Mekah dan menjadi Khādim al-Ḥaramain
di sana. Begitu juga dengan Bung Hatta, Agus Salim, Nazir Sutan Pamuntjak,
Sutan Sjahrir, termasuk Tan Malaka. Mereka telah meninggalkan Tanah Adat dan
menjadi orang besar dan berguna bagi Tanah Air. Sepertinya, di sini Buya Hamka
mengkritik orang-orang Minang yang hanya membangga-banggakan Bung Hatta, dkk
tanpa mengikuti jejak-jejak mereka yang meninggalkan Tanah Adat untuk Tanah
Air.
Tetapi
sedikit-banyaknya, Ayah Buya Hamka telah memberikan kontribusi yang banyak
terhadap Tanah Air, mulai kiprahnya mendirikan Thawalib School sebagai
sekolah Islam Modern pertama di Indonesia, mengisi Majalah al-Munir yang
senantiasa dibaca oleh K.H. Ahmad Dahlan, hingga kiprahnya di bidang politik.
Kedekatannya dengan KH. A. Wahid Hasyim menjadikan Hamka sangat dekat Nahdlatul
Ulama (NU) di Depag. Ia pernah juga diasingkan di Sukabumi karena dianggap
berbahaya oleh Belanda. Mungkin, sudah seharusnya alumni Thawalib School
mengusulkan agar beliau dijadikan sebagai Pahlawan Nasional.
Kedua,
kontroversi fatwa ‘Natal Bersama’, di mana beliau memilih untuk mengundurkan
diri dari jabatan sebagai Ketua Umum MUI daripada mencabut fatwa tersebut. Saya
rasa tidak perlu lagi menjelaskan hal ini, karena sudah banyak yang
memperdebatkan dan sudah diklarifikasi oleh anak-anak beliau. Namun, hal yang
sangat disayangkan adalah tatkala isu agama muncul, orang-orang yang berada di
‘Islam Kanan’ selalu mengutip quotes, “Jika kamu diam saat agamamu
dihina, maka gantilah bajumu dengan kain kafan”. Dan sepertinya kita perlu membaca keseluruhan
karya Buya Hamka agar tidak selalu mengutip quotes tersebut yang dapat
memunculkan stigma bahwa Buya Hamka adalah orang yang ‘intoleran’.
Di
sisi lain, Buya Hamka juga pernah mengkritik orang-orang yang anti-Barat.
Seperti halnya orang yang mengkritik Barat di atas oto (mobil), orang
yang menghina Barat melalui pesawat telepon, dan masih banyak contoh yang lain.
Artinya, menjadi aneh ketika seseorang mengkritik Barat sedangkan ia menggunakan
produk Barat itu sendiri. Mungkin untuk konteks zaman sekarang, orang yang
menghina Barat menggunakan Facebook, WhatsApp, Instagram dan sebagainya. Dengan
membaca buku 4 Bulan di Amerika karangan Buya hamka memberikan rasa
takjub yang luar biasa terhadap kehidupan manusia modern, Tanah Air tercinta,
dan hakikat diri seorang manusia.
Ketiga,
amat disayangkan tatkala Minangkabau sempat dihebohkan dengan seorang Pendeta
Willy Amrul (Abdul Wadud Karim Amrullah) yang merupakan adik tiri se-ayah Buya Hamka
sendiri. Selengkapnya, kisah tentang adik Buya Hamka ini dapat di baca di dalam
buku “Dari Subuh Hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan
Kebenaran” yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2012 oleh BPK Gunung Mulia,
Jakarta. Tetapi, setelah membandingkan dengan catatan Irfan Hamka, Willy Amrul
ini memiliki hubungan baik, ditandai dengan kehadirannya pada saat Buya Hamka
wafat.
Saya
adalah orang yang penasaran dengan sikap Buya Hamka jika beliau masih hidup
ketika mengetahui bahwa adiknya telah berpindah haluan. Namun sayang,
berdasarkan catatan Willy Amrul, ia dibaptis pada tahun 1983 sedangkan Buya
Hamka wafat pada tahun 1981. Dan ketika Buya Hamka ke Amerika pada tahun
1952-an, Willy Amrul juga sempat menemani Buya Hamka berkeliling di Amerika dan
ketika itu Buya Hamka masih memanggil adiknya dengan nama Abdul Wadud Karim
Amrullah.
Adapun
Buya Hamka sangat diwanti-wanti oleh ayahnya ketika merantau, “Jangan sampai
engkau menjadi komunis”. Mungkinkah ayah Buya Hamka hanya mewaspadai komunis
karena tidak memiliki agama? Atau termasuk juga mewaspadai bahaya kristenisasi?
Hal ini dikarenakan jika ada orang Minang yang keluar dari Islam, berarti ia
telah meninggalkan Minang-nya berdasarkan ‘Sumpah Satie (Piagam) Bukik Marapalam’
– Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Oh, iya.
Bukankah Buya Hamka telah menulis bahwa adat Minangkabau akan menghadapi
revolusi dan evolusi juga pada akhirnya? Termasuk pada bagian agama-kah? Wallahu
A’lam