![]() |
Source: Google |
Oleh: Febrian
Candra Wijaya
Tanggal 02 Mei
diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Penetapan ini karena tokoh yang
memiliki jasa besar dalam pendidikan Indonesia dilahirkan pada tanggal tersebut.
Ini merupakan bentuk apresiasi dan wujud terima kasih atas dedikasinya sebagai
tokoh yang memiliki andil besar bagi Bangsa Indonesia. Maka, pada 16 Desember
1959 pemerintah menetapkan 02 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional.
Sekilas dari segi
penamaan, tidak sedikit orang yang tidak sadar. Mengapa menggunakan kata
pendidikan? Bukan pengajaran? Adakah perbedaan makna terhadap pemilihan dua
diksi tersebut? Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan
berasal dari kata didik yang memiliki arti memelihara dan memberi latihan
(ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Adapun
kata pendidikan dijelaskan sebagai proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan
mendidik. Sedangkan kata pengajaran berasal dari kata ajar yang memiliki arti
petunjuk yang diberikan kepada seseorang supaya diketahui (diturut). Adapun
kata pengajaran diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mengajar.
Dalam
Bahasa Arab pun terdapat perbedaan mengenai dua diksi tersebut. Kata pendidikan
pada umumnya menggunakan kata رَبَّ- يُرَبِ (rabba-yurabbi)
yang memiliki arti mendidik. Sedangkan kata pendidikan dalam Bahasa Arab
yaitu تَرْبِيَةٌ (tarbiyyah).
Adapun mengajar dalam Bahasa Arab adalah عَلَّمَ-يُعَلِّمُ (‘allama-yu’allimu) yang berarti
mengajar. Sedangkan pengajaran biasanya menggunakan تَعْلِيْمٌ (ta’lim).
Berdasarkan
definisi-definisi di atas, dapat
dilihat bahwa terdapat titik tekan yang berbeda mengenai pendidikan dan
pengajaran. Secara sederhana, pendidikan lebih memiliki kompleksitas yang utuh
dari pada pengajaran. Karena proses mendidik adalah tidak sekadar menyampaikan
pelajaran. Lebih dari itu, penekanan dalam kata pendidikan adalah bagaimana
cara mengubah sikap menuju kecerdasan yang berbasis karakter dan kecerdasan
pikiran.
Tetapi, jika
melihat proses pendidikan di Indonesia sekarang rasanya jauh dari kata mendidik,
atau mungkin kehilangan makna pendidikan itu sendiri. Kita dapat melihat
maraknya peredaran berita perihal kasus yang berhubungan dengan dunia
pendidikan, termasuk lingkungan sekolah. Entah guru ataupun murid yang
melakukannya, pada dasarnya kedua oknum tersebut adalah dua komponen utama
dalam proses pendidikan.
Banyak berita
beredar mengenai pencabulan atau pelecehan seksual yang dilakukan guru kepada
murid. Pun sebaliknya, tidak sedikit juga beredar berita ataupun video yang
menunjukkan perbuatan yang tidak pantas --bahkan terkesan kurang ajar-- yang
dilakukan murid terhadap gurunya. Jika melihat definisi kata-kata di atas,
rasanya pada saat ini sekolah adalah salah satu lembaga pengajaran, bukan
pendidikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan, sekolah tidak memiliki keduanya.
Salah
satu penyebab utama kasus-kasus tersebut terjadi adalah kurangnya kesadaran
dari dua komponen utama pendidikan --guru dan murid-- mengenai esensi
pendidikan. Mereka seakan lupa bahwa mereka adalah cerminan paling utama dalam
pendidikan Indonesia. Sehingga muncul
perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai tatanan moral masyarakat.
Pergeseran dari
tenaga pendidik kepada pengajar pun juga banyak tidak disadari oleh seorang
guru. Mereka seakan hanya memiliki kewajiban menyampaikan materi kepada anak
didiknya tanpa memerdulikan pendidikan karakter yang harusnya juga diajarkan.
Sehingga murid menjadi seorang yang cerdas pikiran, tapi tidak dengan karakter.
Juga hilangnya keteladanan dari seorang guru sebagai seorang figur pendidik,
sehingga guru hanya dianggap dewan pengajar, bukan pendidik.
Pun
sebaliknya bagi seorang murid. Mereka lupa bahwa bagaimanapun mereka adalah
seorang yang belajar kepada guru. Artinya mereka mendapat kewajiban untuk
menghormati seseorang yang ‘mengajar’ mereka. Terlebih di era medsos
sekarang, hilangnya rasa hormat kepada seorang pengajar atau pendidik sangat sering terjadi.
Sehingga
jika dikaitkan dengan Hari Pendidikan Nasional bahwa benar momen itu pernah
terjadi di Indonesia sebagai sejarah. Dengan hilangnya kesadaran dari kedua
komponen utama cerminan pendidikan di Indonesia maka bukankah sebenarnya yang
diperingati hari ini adalah Hari Pengajaran Nasional? Ataukah Hari Nasional
hanya sebagai sebuah peringatan terhadap Ki Hadjar Dewatara? Bagaimana dengan maraknya kasus yang beredar? Lantas siapa
sebenarnya yang bertanggung jawab atas maraknnya kasus-kasus tersebut?
Karena seharusnya
esensi dari kata pendidikan disadari betul dari kedua belah pihak, terlebih
dari dewan pendidik. Sehingga setidaknya figur seorang guru tidak hanya sebagai
seorang pengajar yang hanya memberikan meteri kepada muridnya. Lebih dari itu,
sebagai seorang guru sudah seharusnya menjadi seorang yang patut untuk
diteladani dan diikuti oleh murid-muridnya. Hingga pada akhirnya semangat
pendidikan bisa terwujudkan.
Pun juga untuk
seorang murid, sudah menjadi kewajiban untuk menghormati dan mengikuti apa yang
telah diajarkan oleh guru. Terlebih di era perkembangan teknologi yang
menjadikan degradasi moral semakin kentara. Kesadaran sebagai seorang peserta
didik yang mengedepankan rasa hormat terhadap guru harus dihadirkan kembali.
0 komentar:
Posting Komentar