Oleh: Ontoseno
Pagi-pagi sekali, seperti biasa, Timus sudah pergi ke rumah Ingsun.
“Mus. Nampaknya tak ada dokter yang bakal tahu jenis penyakitku.”
“Sudah kuduga. Berulang kali kukatakan padamu, Sun.”
“Tapi semua bukan salahku. Aku ditakdirkan untuk menjadi seperti
ini.”
“Tidak! Jangan percaya sepenuhnya pada takdir. Semua akan baik-baik
saja.”
“Baik-baik saja katamu? Bagaimana bisa seseorang alergi dengan
tulisan cinta, jijik melihat manusia berpasang-pasangan, muak dengan kata-kata
kasih, kekasih, kisah, asih, asuh? Barang-barang menjijikkan yang membuat
mataku rusak. Dokter-dokter itu tak tahu apa sebab memerahnya mataku ketika
ditunjukkan padaku dua orang yang sedang memadu kasih.”
“Hanya satu obatnya, Sun. Kau harus merasakan apa itu kasih
sayang.”
“Aku tak sepenuhnya paham apa itu kasih sayang.”
“Hei! Berapa tahun kau menutup matamu dari kehidupan cinta?”
“Apa maksudmu? Aku bukan manusia yang nilai cintanya nol besar. Aku
jamin. Kau Timus, bujang lapuk yang loncat ke sana-sini
atas nama cinta, kalah romantisnya denganku.”
“Hahaha. Apa buktinya? Kau bahkan alergi dengan hal-hal romantis.”
“Betul. Tapi alergiku bersifat eksternal, bukan internal. Aku
sangat romantis dengan diriku sendiri. Aku berharap bisa menikahi diriku yang
romantis ini. Itulah romantisme liberal. Aku menyebutnya demikian, terserah kau
setuju atau tidak.”
“Jelas itu penyakit, Sun. Bagaimanapun manusia diciptakan
berpasang-pasangan. Aku akan bantu menyembuhkanmu. Kau tahu Maya?
Anak gadis Pak Lurah, lulusan Akademi Kebidanan. Dia incaran
banyak orang. Kuantar kau ke sana sekarang juga.”
“Tidak. Kedudukannya membutakan hatinya.”
“Bagaimana dengan Lisa anaknya Pak Bero? Dia
anak orang biasa, petani. Sekarang juga kita ke sana.”
“Sederhana, tapi tak bangga dengan dirinya sendiri.”
“Kalau Minah?
“Terlalu gemulai.”
“Lasmi?”
“Tidak. Pinggulnya besar sebelah.”
“Zahra?”
“Terlalu kekinian. Tak cocok buatku.”
“Arum?”
“Tidak.”
“Nurul?
“Tidak.”
“Soli?”
“Tidak, tidak, tidak. Kau yakin orang-orang itu bisa
menyembuhkanku? Memangnya mereka dokter?”
“Sun, kau hanya perlu sentuhan cinta. Hanya itu yang bisa
menyembuhkanmu.”
“Jadi maksudmu, orang yang tak tersentuh dengan cinta dari orang
lain adalah orang sakit?”
“Tepat.”
“Menurutmu apa ciri orang berpenyakitan seperti itu?”
“Mudah sekali. Jika kau ingin tahu orang yang
kekurangan tidur, lihatlah matanya. Jika ingin tahu orang yang kekurangan serat,
lihatlah tubuhnya. Jika kau ingin tahu orang yang kekurangan kasih sayang,
lihatlah dirimu sendiri.”
“Maksudmu jika mata seseorang merah dan berair obatnya adalah tidur
dan orang yang kekurangan serat hanya diobati dengan makan buah, dengan
demikian orang yang kekurangan kasih sayang hanya bisa diobati dengan sentuhan
cinta dari orang lain. Itukah yang kau maksud?”
“Tepat sekali, Ingsun.”
“Kalau begitu, orang yang memberi cintanya kepada yang dicinta bisa
dibilang sebagai orang yang berjasa, karena memelihara kesehatan jiwa?”
“Sudah pasti jasanya tak terhitung.”
“Pemberi jasa, dengan demikian, haruslah memiliki keahlian agar
jasanya benar-benar berguna. Berarti, cinta bersifat ekslusif, hanya dimiliki
orang-orang yang mumpuni dalam mencinta.”
“Kau ada benarnya, Sun. Tak semua orang yang berpasang-pasangan
ahli dalam mencinta. Namun tak dapat disangkal, setiap orang berhak untuk
mencintai dan dicintai.”
“Jika begitu, maka wajar saja jika cinta juga bisa menghasilkan
kerusakan-kerusakan.”
“Kerusakan yang bagaimana?”
“Permusuhan, agaknya adalah hasil dari kurangnya kualitas dari
mencintai.”
“Begitulah, pada akhirnya ia akan menjadi bumerang bagi dirinya
sendiri. Itulah kesimpulannya.”
“Kalau begitu, Timus, masihkah kau
ingin mengajakku bersafari ke rumah gadis-gadis itu?”
“Terserah padamu. Kupikir pengetahuanmu tentang cinta sama sekali
kosong.”
“Tidak, Timus. Aku hanya berhati-hati dengan benda itu. Tidak pula
aku alergi dengannya. Aku hanya muak dengan kualitas mencintai orang-orang
sekarang. Coba bayangkan jika seorang pembuat kue yang tidak mumpuni memaksakan
diri untuk membuat kue?”
“Tak selayaknya ia disebut sebagai pembuat kue.”
“Tepat. Seperti itulah seorang yang memaksakan diri untuk
mencintai, ia tak layak disebut pecinta.”
“Tapi, Ingsun. Bukankah cinta tak memiliki rumus pasti? Berbeda
dengan pembuat kue yang harus menghafalkan rumus-rumus membuat kue yang lezat?”
“Setuju. Cinta memang bukan barang ajeg. Kita tak bisa
menghitung seberapa besarnya ia di dada seseorang. Tak bisa pula kita
menghitung kualitasnya, sebagaimana kita mengukur kelezatan sepotong kue. Tapi
Timus, coba kau perhatikan. Dengan tidak adanya ukuran-ukuran pasti yang
melekat dengannya, banyak pecinta yang mengaku cinta padahal nol besar.”
“Itu artinya, bagi orang-orang seperti itu, mencintai adalah seni
berbohong?”
“Itulah implikasinya.”
“Tapi Ingsun, bukankah berpura-pura mencintai lebih mulia daripada
tak mencintai sama sekali? Masih ada harapan untuk cinta palsu itu berubah
menjadi ketulusan. Sedangkan tak mencintai sama sekali, apa yang bisa
diharapkan?”
“Nampaknya kau menyinggungku. Timus, kalau perbincangan ini
dilanjutkan, akan memakan waktu yang lama. Aku harus pulang, memberi makan
ternak-ternakku.”
“Baiklah, kutunggu pilihanmu.”
Bersambung….