Indonesia yang dahulu
dikenal dengan nama Nusantara memiliki keberagaman yang unik dan menarik untuk
dikaji dan diteliti lagi dan lagi. Salah satu yang begitu menarik yaitu
meskipun ada banyak ragam suku, budaya, bahasa, dan agama, keberagaman tersebut
seakan telah hilang terlupakan dibawah semboyan Bhineka Tunggal Ika
(berbeda-beda tapi tetap satu jua). Hal itu pula lah yang menjadi ciri khas
tersendiri Bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Ada satu lagi yang
khas dari Indonesia, yaitu golongan santri.
Menurut KBBI, santri adalah orang yang mendalami agama Islam.
Istilah santri sebenarnya tak jauh berbeda dengan kata cantrik, yang
dalam Bahasa Jawa berarti orang yang menuntut ilmu pada orang yang pandai/sakti.
Namun perbedaan tersebut nampak jelas jika kita bahas lebih mendalam lagi. Cantrik
secara umum lebih identik dengan tujuan untuk mendalami ilmu-ilmu kebatinan
atau ilmu kesaktian serta tinggal di dalam pedepokan. Sedangkan santri
merupakan orang-orang yang tinggal di dalam pondok pesantren dengan tujuan
untuk menuntut ilmu-ilmu agama islam sebagai bekal di kemudian hari. Tak hanya
orang yang tinggal dan menetap di pondok pesantren. Para Ulama telah memperluas
makna dari istilah santri.
Dr. KH. Abdul Mustaqim, M.Ag., dosen Akhlaq dan Ilmu Tasawuf di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam tausiahnya beberapa
waktu lalu di Pondok Pesantren LSQ Ar-Rohmah, Bantul, telah mengklasifikasi
santri menjadi beberapa kriteria. Pertama, Santri Mukim. Santri Mukim
adalah santri yang menuntut ilmu sembari bertempat tinggal di dalam pondok
pesantren dalam jangka waktu lama. Santri kriteria seperti ini biasanya mondok
(nyantri) sambil bersekolah di sekolah formal atau sambil kuliah. Namun
ada juga yang hanya untuk mondok saja untuk menekuni ilmu-ilmu agama
atau fokus pada hafalan Al-Quran. Kedua, Santri Kalong. Santri Kalong
merupakan santri yang aktif mengikuti berbagai kajian-kajian di dalam pondok
pesantren. Namun mereka tidak menetap di dalam pondok pesantren. Istilah santri
kalong ini tentu saja dinisbatkan pada kalong atau kelelawar yang pergi ketika
malam, dalam artian santri tersebut tidak menginap di pondok pesantren namun
tetap pulang-pergi antara pondok dan rumah untuk mengikuti kajian di dalamnya.
Dan ketiga, Santri Life-In, santri kriteria ini ialah santri yang
menuntut ilmu dan tinggal di dalam pondok pesantren, namun dalam jangka waktu
tertentu. Biasanya Santri Life-In ini dikhususkan ketika ada event-event
tertentu seperti program Ramadhan dan PPL mahasiswa.
Menjadi santri merupakan
salah satu bentuk kaderisasi masyarakat menuju masyarakat yang unggul dan kuat.
Tidak berhaluan kanan maupun kiri. Menjadi santri adalah mencoba mencari jalan
tengah pada Ukhuwah Islamiyyah dan Wathaniyyah dengan beralirkan Islam
Wasathiyyah (islam jalur tengah) , tidak ekstrim, tidak lembek. Namun
mencoba merangkul negara dan agama menjadi suatu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Untuk itu, KH. Wahab Chasbullah mencetuskan semboyan Hubbul
Wathon Minal Iman dan menciptakan lagu Ya Ahlal Wathon sebagai
bentuk perwujudan santri yang nasionalis dan agamis. Sampai sekarang, semboyan
dan lagu tersebut masih sering dilantunkan pada event-event khusus dan
umum, terutama dalam peringatan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap
tanggal 22 Oktober.
Tanggal 22 oktober memiliki kesan yang begitu istinewa bagi
kalangan santri dan kyai. Tanggal tersebut menjadi momentum sejarah perjuangan
para kyai dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI, tepatnya pada
tanggal 22 Oktober 1945 setelah Hadlorotus-Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
mengeluarkan fatwanya tentang jihad membela tanah air. Fatwa yang menyatakan
kewajiban umat islam untuk berjihad membela tanah air tersebut adalah bagian
dari reaksi golongan ulama menyongsong datangnya tentara sekutu yang membonceng
NICA ke Jawa Timur, khususnya Surabaya sebagai bentuk tindakan pencegahan
maupun perlawanan jika Belanda kembali menjajah dan merongrong kemerdekaan.
Mulai saat itulah eksistensi kaum santri mulai terakomodir dengan tindakan
nyata untuk membela negara.
Resolusi jihad yang
difatwakan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) tersebut begitu membekas di
dalam dada kaum santri, hingga ribuan bahkan ratusan ribu kaum santri turun ke
medan perang untuk berjihad dengan semboyan mereka 'Merdeka atau Mati Syahid'.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa resolusi tersebut juga berpengaruh besar pada
peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, dimana rakyat Indonesia (khususnya dari
Jawa dan Madura) berkumpul untuk membentuk suatu kekuatan besar guna
menindaklanjuti pamflet-pamflet yang berisikan ancaman dari sekutu. Kini
setelah 70 tahun indonesia merdeka, berdasarkan Keppres nomor 22 tahun 2015,
tanggal 22 Oktober ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional sebagai bentuk
apresiasi negara terhadap eksistensi kaum santri, baik dalam mempertahankan
keutuhan NKRI, menjaga ke-finalan Pancasila, hingga atas pengabdian mereka
kepada negara. Memang sudah saatnya negara memperhatikan eksistensi santri
setelah sekian lama terlupakan dari sorotan media, apalagi pada Hari Santri
Nasional yang ketiga ini telah mengusung tema Santri Unggul Indonesia Makmur.
Tentunya ini mengandung makna yang mendalam dan secara psikologis telah
memberikan kesan moril bagi kaum santri untuk brsemangat dalam menuntut ilmu.
(Azharin)
*Penulis adalah
Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta*
0 komentar:
Posting Komentar