Oleh: Abay*
Saya masih ingat dengan jelas ketika
salah seorang dosen mencoba untuk mengalihbahasakan satu kata berbahasa Jawa ke
dalam Bahasa Indonesia. Beliau tidak berhasil menemukan persamaan kata yang
dapat menggambarkan makna kata tersebut secara sempurna. Kalimat yang keluar
dari mulut beliau setelahnya tidak lebih dari “hinaan halus” terhadap Bahasa
Indonesia dan pujian teradap bahasanya sendiri. Bahasa Indonesia itu terlalu
dangkal, tidak seperti Bahasa Jawa yang memiliki perbendaharaan kata lebih
banyak dan makna lebih variatif, kira-kira begitu yang beliau sampaikan.
Ini turut mengingatkan saya pada
kejadiaan saat masih di pondok dulu. Sering kali beberapa guru mencoba hal
serupa, mengalihbahasakan satu kata berbahasa Minang ke dalam Bahasa Indonesia.
Namun yang terlontar dari mulut mereka adalah “Bahasa Indonesia tidak memiliki
padanan kata yang pas”.
Tentunya kejadian-kejadian seperti
ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jujur saja, dulu saya juga
berpikir demikian. Ikut “mengatai” Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
“miskin”. Banyak padanan kata yang tidak sesuai dengan bahasa daerah. Kita
butuh menjelaskan lebih “ribet” dan panjang lebar jika tidak menemukan padanaan
kata yang pas.
Namun belakangan saya sadar, Bahasa
Indonesia itu bahasa persatuan layakanya yang tertera dalam Sumpah Pemuda.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa bentukan dari berbagai bahasa. Pada awalnya
dibuat dengan kata-kata umum yang banyak digunakan untuk menyatukan berbagai
orang dalam satu pemahaman. Bahasa Indonesia mencoba menjadi pemersatu berbagai
bahasa daerah agar perjalanan kemerdekaan Indonesia menjadi lebih mudah.
Bahasa Indonesia bukanlah bahasa
asli yang lahir dai mulut seorang ibu. Melainkan sebuah bahasa yang dimunculkan
dari mulut para pejuang. Sekali lagi, bukan bahasa yang sudah terlahir sejak
zaman dahulu kala. Tapi bahasa yang baru lahir kemarin, dengan ketulusan
pemersatuan.
Wajar saja jika Bahasa Indonesia
dipandang tidak mampu menyaingi bahasa daerah, karena memang ia bukan bahasa
yang tercipta begitu saja. Bahasa Indonesia pada masa itu hingga saat ini hanya
ingin menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu obrolan komunikatif. Bahasa
yang mampu membuat mereka memahami satu sama lain.
Pun Bahasa Indonesia juga sadar diri
akan kekurangannya. Setiap saat ia memperbaharui diri, menghadirkan
panduan-panduan dengan edisi revisi. Mulai dari ketentuan penulisan dalam
Bahasa Indonesia yang baik dan benar, hingga kata-kata yang tertera dalam kamus
besar. Semua berusaha menyempurnakannya. Sayang sekali kegiatan penyempurnaan
itu harus menerima kenyataan pahit bahwa sebagian besar masyarakat justru tidak
peduli. Jujur saja, pasti banyak kata-kata yang kamu sangka bukan Bahasa
Indonesia ternyata adalah Bahasa Indonesia ketika menilik kamus.
Saya rasa mulai menghargai Bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan dan merujuk kamus adalah salah satu bentuk
nasionalisme sederhana yang sering dilupakan. Berhentilah “menghina” bahasa
sendiri. Ia tahu diri, sadar akan kekurangannya. Setiap saat ia memperbaiki
diri dan akan terus demikian. Demi memberikan bahasa yang layak untuk
masyarakat Indonesia yang sayangnya entah kapan akan sadar. Terima kasih Bahasa
Indonesia, kau memang pejuang sejati.
*Mahasiswa yang pernah “melecehkan”
Bahasa Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar