Abdil*
Cerah menyinari teras kelas, kau duduk di sana
Di bibir meja pimpong, kedua lengan menopang bahu yang
datar
Memerhati rutinitas di batas aroma, soal kecil yang
dibungkus percakapan
Kening Puan berkerut,
Matahari Tuhan agak terik menembus lengkungan kerudung
putih
Kau melirik, sementara langkah sedang dihitung
Kepada kota tua kecil yang pernah kupilah mimpiku di
sana
Aku membayangkan warna-warna tampak di antara
puncak-puncak menara kala fajar
Ternyata mereka tak perlu bersinar
Mereka tak perlu bersinar untuk kutahu kalau ini biru,
dan yang itu hijau
Saat hujan turun, pasir-pasir tak bersua untuk tak
ingin basah
Pohon-pohon bertingkah
Dedaunan kuning tak ribut untuk tetap menjelma coklat
Di depan deretan tokoh-tokoh
Di ambang prakata yang tak seberapa
Di antara bait-bait puisi yang tidak selesai
Seorang Permaisuri meringis membasuh muka, dengan
rindunya yang rumit
Sementara ujung lengan kemeja putih polosnya, kotor
karena air sastra
Jendela rabun yang ditulisi telunjuk
Embun-embunnya tabah tak meminta untuk tetes leluasa
Aku mencintaimu,
Rindu tak bubar karena tak kukatakan
Terlalu sederhana
Mungkin terbaca di paparan cara
menyikapiku
Kepada setiap gatra yang selalu
kucari posisinya,
Kontak batin berita rindumu,
Garis lurus jalur orbit cerita,
Atau pertemuan tiba-tiba, denganmu
Sering aku ingin menemanimu menangis
Kala kutahu Puan sedang marah
karenaku
Kepada kota tua kecil, di sana
Hai, senja kota mulai membencimu, saat dia mulai
menulis karenamu,
Dan tanpa dirasa kau menemaninya lagi dari sana
“Aku mulai merasa kau tidak di sana menemaniku di sini
saat aku menulis karenamu,”
Dia bersedih, tulisannya masih tentangmu.
Alumni Pondok Pesantren Al-Junaidiyah Biru Bone*
0 komentar:
Posting Komentar