Oleh : Nanang iskandar*
Ku
kisahkan tentang negeri para babu
Ambil
tindakan tak pikir-pikir dulu
Lalu
ketika semua telah jadi abu
Barulah
ia seolah-olah mengadu
Ada
saja yang unik dari negeri rebahan
Ambil
kritik, tapi tak banyak menelaah lembaran
Lalu
ketika kritiknya terbalas teori lembaran
Melengganglah
ia pergi tanpa malu yang tertahan
Wahai
negeri para perayu
Mendayu-dayu
ambisimu itu
Bak
perahu kayu di laut luasmu
Melambai
manja bak pohon kelapamu
Namun
ambisimu saja tak cukup
Hanya
berharap tuk mencakup
Bunga
tak mekar sebelum jadi kuncup
Lalu
kenapa kalian masih merayu harap
Negeri
lain sudah memanjat
Kalian
masih saja menjilat
Negeri
orang sudah mengkilat
Kalian
masih saja berkarat
Wahai
kalian yang terdiam
Tak
malukah kalian dicap kelam
Dituduh
tanpa beban mendalam
Bahwa
hanya menjadi beban sang bumi tuhan
Tak
puaskah kalian dengan tiga abad yang miris?
Ketika
ketololan kalian diwayangkan pak kumis yang sadis
Tak
malukah kalian dikatai babu bekas
Yang
melayani dengan ikhlas
Miris
rasanya tuk dikenang
Lebih
memilih langkah tuk merenung
Agar
tak menjadi babu di masa mendatang
Agar
negeriku pun ini bisa dikenang
Oh, negeriku bukan kata
tak cinta
Bukan
kata tak bangga
Semua
itu pasti sesak di dada
Mata
ini bisa meraba
Pulau-pulau
tersusun eksotis
Birunya
laut sebagai tabir halus
Pohon
dan tunas kelapa saling menari diterpa sunrise
Hutan
menghijau yang luas
Manusia
bahu-membahu tuk berkarya
Beribadah
dengan damai di dalam raga
Anak-anak
berlari memainkan layang-layang
Kaum
sarungan berbaris mendekap kitab
Sungguh
indah jika dinikmati
Damai
tentram negeri ini
Jika
sekiranya alurnya diikuti
Membuat
rasa, membesar di hati
Teruslah
melangkah negeriku
Menjadi
tempat terjaga yang memukau
Meski
dengan banyak kekurangan
Ku
pasti merindukamu
Santri
Pondok Pesantren Al-Junaidiyah Biru Bone.*
0 komentar:
Posting Komentar