*Failal
“Pak aku lulus tes kuliah jurusan Kedokteran”
Setelah Malia memberi tahu bapaknya tentang
penerimaanya masuk kuliah, pak Sobri seketika itu tak berhenti memikirkan bagaimana
mendapat uang untuk pembayaran anaknya. Tidak mungkin cita-cita malia terputus
hanya karena keterbatasan pekerjaan yang dimiliki pak Sobri. “Lia harus kuliah,
dia harus lebih baik dari saya” kata hati laki-laki separuh baya yang rambutnya
terus berubah menjadi putih.
Sepetak tanah berukukan 10 m x 15 m yang
setiap sekatnya masih menggunakan kayu triplek, disitulah Malia tumbuh. Bukan anak
yang pintar, ketekunan yang terus di istiqomahkan selalu mengantarkan Malia pada
garis takdir tuhan yang lurus, banyak teman-temannnya memicingkan mata atas
prestasi-prestasi yang di dapatkan Malia, prestasi yang diinginkan banyak
siswa-siswi di sekolah, memandang Malia penuh dengki sampai dia menjadi korban bully-an
teman-temanya.
“Anak tukang becak enggak pantes buat juara”
“Loe cari muka ya di depan para guru”
“Enggak usah main sama kita, kemana-mana aja
di antar sama becak butut, huuu”
“enggak usah sok melas, kita tetap gak
mau temenan sama loe”
Begitu cercaan dan makian yang terus di
lontarkan, syukurnya Malia tak putus asa, semangatnya membalas dengan
kesuksesanya semakin menjadi-jadi.
Gadis lugu berkulit kuning langsat hidungnya
tidak terlalu pesek bukan pula seperti hidung orang berkulit putih tapi Malia
selalu memberikan senyuman setiap bertemu orang yang sudah ia kenal maupun
belum. Tak jarang guru-gurunya sering meminta bantuan malia hanya sekedar membawakan
bukunya ke kantor guru, atau menyampaikan tugas-tugas yang di titipkan saat
guru pengajar izin tidak masuk kelas.
Matahari tak malu menunjukan cahayanya,
pergantian petang menuju pagi memberikan kesejukan setiap hirupan udara di desa
yang tak banyak polusi. Perlahan matahari mulai naik, cahaya itu menembus
sela-sela pohon rambutan depan rumah pak Sobri sampai menyapa hangat Malia dari
balik jendela kamarnya. Ia beranjak menuju dapur menggantikan peran ibunya
sejak kelas 2 SMP. Saat itu seharunya Malia bukan anak satu-satunya, karena
ibunya meninggalkan Malia dan pak Sobri ketika melahirkan adik Malia. Tapi
takdir tuhan berkata lain karena kehabisan air ketuban adik Malia tidak
terselamatkan dan tak lama ibu malia menyusul bayi mungil yang belum sempat
melihat dunia serta belum luput dari dosa.
“Pak, mau di buatkan kopi?”
“Tak usah Malia, bapak harus segera pergi
nanti kehilangan pelanggan”
“Ini pak, bekal nasi goreng dengan telur
setengah matang kesukaan bapak, bapak harus tetap sarapan”
“Makasih nak, Cuma kamu harapan hidup bapak
satu-satunya”
Sambil tertunduk Malia ingin sekali menangis
tapi ditahannya agar air mata itu tidak membuat ayahnya sedih.
“Hari ini mau kemana Malia?” lanjut tanya
bapaknya.
“Mau bantu-bantu ke rumah bu Vita pak, barang
kali nanti disana malia dapat informasi beasiswa.”
“Iya jangan lupa kunci rumah, meskipun rumah
ini tidak mewah tetap kita tidak boleh membiarkan orang lain masuk sembarangan.
Bapak pergi dulu ya”
Hari terakhir pembayaran uang pangkal masuk
kedokteran berakhir 3 hari lagi, Malia juga bingung dari mana ia harus
mendapatkan uang sebesar 35 juta dalam waktu secepat itu. Tapi tak putus
usahanya. Di sela-sela selesai ujian dan menunggu waktu terakhir pembayaran uang
pangkal kuliah, Malia bekerja paruh waktu di supermarket kecil milik bu Vita,
guru SMA Malia. Ditabungnya uang tersebut dan ia menjual kue yang di titipkan
di toko-toko serta dia bawa saat menjaga swalayan Bu Vita.
“Selamat pagi bu Vita, Malia hadir” dengan
wajahnya yang selalu ceria ia menyapa bu Vita dan memberikan senyum kepada
rekan-rekan kerjanya.
Seperti biasa, sebelum toko di buka para pelayan
dan pekerja tersebut di-briefing dan di arahkan serta diberi nasehat
agar kerja mereka baik. Hampir di seluruh toko besar maupun supermarket
melakukan hal yang sama. Dibacakan peraturan kerja dan ada hadiah yang di
tawarkan jika kerja mereka bagus.
“Malia kamu salah naruh barang, ini snack
rentengan di rak sebelah timur samping rak susu”
“Oh iya mba, maaf saya kurang fokus baca tadi”
“Malia... Malia. sudah sana pindah, kerja yang
benar.”
---
“Gimana pak tadi narik becaknya”
“Lumayan, hasilnya bisa buat nambah tabungan.
Kamu masih mau melanjutkan di Fakultas Kedokteran nak ?”
“Iya pak, tapi kalo tak ada biasa biarkan Malia
mencoba mendaftar jadi guru honorer dan melanjutkan kerja di toko bu Vita.”
“Jangan Malia, nanti biar bapak cari cara biar
bisa membayar uang pangkal masuk kedokteran itu.”
Setiap sepertiga malam Malia tak pernah
berhenti bersujud serta mengadukan Doa malia agar dia dimudahkan bisa kuliah.
Sampai dimana hari pembayaran terakhir Malia juga belum menemukan solusi. Ia
berangkat ke toko bu vita dengan pikiran kosong. Baisanya ia selalu menampakkan
keceriaanya, tapi hari ini ia agak berbeda. Setelah breafing dan arahan
diberikan, bu Vita memanggil Malia ke ruang tamunya.
“Kamu mengapa Malia, mukamu murung, ada masalah
?”
Seketika itu Malia menangis sejadi-jadinya, ia
mengadukan semua yang menjadi perang batinya ke bu Vita, tak kuasa bu Vita melihat
tangis anak se kuat malia menahan isak sesak seperti yang di lihatnya saat ini.
Langsung di dekapnya Malia dan diusap kepala Malia layaknya anak sendiri. Sudah
lama Malia tak pernah merasakan kehangatan dekapan seorang ibu. Saat itu bu
Vita hadir sebagai malaikat seperti ibunya sendiri.
“Kenapa kamu tak bilang sejak awal malia,
barangkali ibu bisa bantu. Dito anak ibu juga masuk di jurusan yang sama
seperti kamu tapi dia memilih masuk di sekolah militer Angkatan darat. Ibu
sudah menyiapkan uang pangkal Dito buat masuk Kedokteran tapi uang itu tidak
terpakai ternyata, dan masih di tabungan saya. Barangkali kamu mau mengggunakan
uang tersebut dulu. Ibu tidak masalah”
Malia seperti menemukan keajaiban
usaha-usahanya selama ini. Setiap doa yang ia lantunkan setiap malam seakan
telah di jawab oleh tuhan. Sore itu sebelum jam 4 sore Malia langsung membayar
uang pangkal ke teller bank yang berada di kecamatanya. Dan satu-satunya
bank yang berada di dekat kampung Malia. Ia pergi di temani bu Vita, di
perjalanan tak hentinya berterimakasih kepada bu Vita.
Malia sudah menunggu bapaknya di depan rumah
tak sabar ingin memberitahu kabar baik dari jawaban doa-doa bapak Malia juga.
Seketika bapak Malia datang ia langsung memeluk dan menagis haru.
“Kenapa kamu nak, bapak baru sampai. Biar
bapak duduk dan kita bercerita”
Setelah semua diceritakan kepada bapaknya. Pak
Sobri juga tidak menyangka anaknya bisa membayar uang pangkal tersebut atas
bantuan bu Vita. Padahal pak Sobri tadi juga sudah mengusahakan menanyakan
pinjama di pegadaian. Karena meragukan pak Sobri, pegadaian tersebut tidak
memberikan pinjaman yang di ajukan pak sobri.
“Kamu minggu depan sudah bisa masuk kuliah Malia,
kamu harus menyiapkan semuanya. Biar bapak nanti yang urus uang untuk
mengembalikan ke bu Vita.”
“Terimakasih pak, Malia akan selalu membuat
bapak bangga.”
Pak Sobri kini tenang sudah mengantarkan
anaknya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Di jurusan banyak orang yang
menginginkan kursi Malia. Ia kini memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang
untuk mengembalikan ke Bu Vita. Dipikirnya hingga ia tertidur di samping
trotoar jalan raya, di atas becak dengan perut buncitnya yang terlihat karna
bajunya yang sudah kekecilan tapi masih di pakainya.
0 komentar:
Posting Komentar