Di ujung musim semi yang tak bertuan, di sebuah desa yang
tak ada tanda-tanda musim semi telah berjalan. Hanya ada debu jalanan yang lalu-lalang
bersama udara, yang membantunya menggapai angan lebih lanjut untuk hinggap pada
dedaunan, dinding rumah, atau bahkan menyelinap masuk menerobos deretan pagar-pagar
bulu hidung. Tak ada belas kasih, bahkan kakek tua pun tanpa ampun batuk
dibuatnya. Debu yang masuk, darah yang keluar, ah.. dunia memang adil.
Debu-debu itu sudah sangat melekat dengan kampung kami, tidak
tahu apa solusinya. Apalagi ditambah kendaraan-kendaraan dengan knalpot bisingnya
yang menganggap jalanan kami bak sirkuit balap, semakin menambah derita kami.
Yang semulanya menderita opda hidung sebab menghirup udara bercampur
debu, tapi telinga kami pun kini turut merasakannya. Segala cara sudah
diterapkan, mulai dari memasang spanduk larangan mengebut, membuat polisi tidur
pada setiap lima meter jalan, hingga para pemuda kampung yang turun tangan
sendiri, yang tak jarang sampai berlanjut ke perkelahian berkepanjangan, maupun
hingga tawuran antar kampung, dan berakhir ke pemakaman. Berbagai cara sudah
kami lakukan namun debu itu tak kunjung menghilang usai, dunia memang adil.
Pagi itu Nur berjalan menghampiri motornya setelah
menyantap lima buah pisang goreng buatan sang ibu. Udara pagi di kampungnya memang
tidak seperti pada kampung-kampung lainnya, debu jalanan yang kian hari semakin
bertambah langsung menyapa pagi yang ceria itu. Nur perlahan mengeluarkan motor
peninggalan bapaknya yang hanya berupa rangkaian mesin, dua buah ban dan kerangka
dari batangan-batangan besi yang dirangkai sedemikian unik, bentuknya telah
termodifikasi menyesuaikan pekerjaan sehari-harinya, mengambil rumput untuk
hewan ternak. Nur mengendarai kuda besinya itu, kulitnya yang hitam legam
membaur dengan debu jalanan. Bermula dari putaran ban, lalu merangkak naik,
debu-debu itu mengepul sebab tersambar angin bekas laju si kuda besi dan jadilah
jalanan yang dilaluinya seperti kabut coklat yang menari.
Pagi itu, masyarakat kampung masih sangat antusias
mengerjakan aktivitas pagi mereka seperti biasanyaa walaupun terkepung oleh debu.
Berbeda dengan Arman, pemuda pemalas yang manja dan dimanja ole keluarganya. Ia
adalah anak orang terkaya dari sepuluh rumah pertama dari perbatasan, karna
rumah ke sebelas adalah rumah Pak Kepala Desa yang sudah sepuluh tahun
menjabat. Seperti biasanya, Arman sejak pagi sudah nongkrong di dalam pos ronda
kampung itu, menghisap asap rokok yang tak jarang debu jalanan pun turut
terhisap di dalam hela nafasnya. Sembari menunggu teman-teman tongkrongannya,
ia berbaring di pagi yang indah itu.
Sementara Nur telah sampai di lahan rumput gajah milik
Daeng Manganring, bapak dari Arman, lokasi tempat ia hendak mengambil rumput
untuk hewan-hewan ternak penyambung hidupnya. Ia memenuhi dua karung besar lalu
meletakkannya di motornya. Nur kemudian melaju pulang ke rumah dengan semangat,
saking semangatnya ia sampai lupa bahwa knalpot dari motornya itu bersuara sangat
bertenaga, tepatnya suara dari tempat seharusnya knalpot itu terpasang. Si kuda
besi itu memang tidak memiliki batangan knalpot, hanya ada lubang tempat
knalpotnya saja. Karena sebab itulah suara yang keluar pun tidak karuan pula,
seperti memancing datangnya musibah.
Benar saja, Arman terperanjat bangun dari tidur paginya
di pos ronda. Kurang sedetik dari melajunya Nur di depan pos ronda itu, debu
mengebut dan suara tidak karuan mengikutinya. Naiklah pitam tingkat sepuluh
sang anak manja namun beringas itu, Arman. Tanpa basa-basi, ia langsung
bergegas menyalakan motor bebek miliknya itu, lalu tancap gas mengikuti Nur
yang mungkin bernasib malang beberapa menit kemudian. Sialnya, semua debu bekas
laju motor Nur ditambah suara bising tidak karuan seolah membungkus Arman yang
kini pitamnya naik ke tingkat sebelas.
Kegigihannya membuahkan hasil, kini Arman pun tepat
berada di samping Nur yang masih asik berkendara tanpa mennyadari adanya
seseorang yang berkendara di sampingnya. Tanpa pikir panjang, Arman melayangkan
tendangan ke arah Nur dan mengenai karung rumputnya, jadilah Nur bersama kuda
besinya terpelanting ke samping kiri, hingga tubuhnya tergelincir di selokan
yang tak berair. Arman pun berhenti untuk kemudin berdiri memasang badan tepat
di depan tempat Nur mencium tanah, seolah bangga dan ingin menampar sekali lagi
wajah kusam Nur yang kini berdarah. Tanpa banyak bicara, Nur yang kesal kemudian
bangkit menuju ke hadapan orang yang memasang badan di sana dan sekaligus orang
yang membuatnya jatuh tersebut. Baru saja
mau berucap, wajah Nur lebih dahulu tertampar oleh tangan kasar Arman.
“Dasar orang miskin tak tahu malu, sudah diberi belas
kasih dari bapakku, masih saja mau kurang ajar!” berkata Arman dalam
intonasi memarahi.
Nur yang merasa tidak bersalah apa-apa langsung mengambil
sabit yang tertancap di karung rumputnya tadi, lalu menyerang Arman secara bertubi-tubi
tepat di bagian lehernya. Tewaslah
seketika Arman di tangan Nur sang tukang ambil rumput di ladang bapaknya itu,
dan Tak tahu nasib Nur di kemudian hari nanti.
Penulis , Nanang iskandar berasal dari PP AL-Junaidiyah Biru
Bone
Sangat bermakna
BalasHapus