“Dulu tempat ini sangat ramai. Siangnya
belajar mengaji, sore silat, malamnya tempat tidur anak lelaki.” Ia terus
menatap bangunan tua berkubah kecil itu seolah dapat mereka ulang semua
kejadian. Tak ada air mata, namun ada raut kesedihan yang terpancar. Sedetik
kemudian ada kebahagian yang hadir bersama senyuman.
Cukup
samar, namun masih dapat kutangkap. Mungkin sekarang ada banyak kenangan yang
hadir seolah menyapa ingatan lama yang sudah berkarat di ujung usia delapan
puluhnya. Puing-puing bangunan seolah puing-puing ingatan.
“Dulu disebut surau[1].” Tambahnya
setelah naik ke teras bangunan yang nampak kotor dan dipenuhi rerumputan.
Nampaknya sudah lama tak dipakai.
“Surau Rang[2] Caniago[3] yang
terkenal karena ramai. Tidak ada tandingan. Jika sudah mengaji, anak-anak
berdesakan mencari tempat duduk karena takut dimarahi. Nenek bahkan waktu kecil
sempat memar di kaki karena dipecut dengan lidi oleh Uyutmu.”
Nenek berbalik menatapku dengan senyuman. Aku
hanya mendengarkan kisah tua yang sudah setua usianya. Terkadang bosan dengan cerita
yang itu-itu lagi. Tapi kali ini berbeda, kami kembali ke tempat di mana
semuanya dimulai. Potongan terpenting yang belum lengkap.
“Temani nenek pulang kampung, nanti semua
pertanyaanmu akan nenek jawab.” Janji nenek saat habis harapan membujukku. Ia
benar-benar tahu aku tak bisa berdamai dengan penasaran. Ya, sebuah pertanyaan
yang hingga kini belum nenek jawab.
“Mengapa menetap di tanah rantau begitu lama
dan tak peranh pulang jika memiliki kampung halaman?”. Aku dibesarkan di
Ibukota, berdarah Minang, namun tak fasih berbahasa Minang, tak kenal adat
istiadat, dan tak pernah tahu kampung halaman sendiri. Jika dipikir-pikir ini
sudah 2020, tapi mengapa semuanya terasa kuno, asal usulku bahkan tidak jelas.
Nenek selalu bungkam jika ditanya keluarga besar.
Bukan
hanya denganku tapi setiap tetangga yang bertanyapun tak pernah dijawab. Seolah
Ibuku adalah hasil dari perbuatan haram dan mereka terusir dari kampung. Tapi
nenek menepis semuanya, “nenek tidak pernah melahirkan anak haram”. Cukup
ambigu, tapi jika dilihat lagi, kakek dan nenekku tidak mungkin seperti itu,
meskipun ilmu agamanya hanya cukup untuk salat dan mengaji.
Di sinilah aku sekarang, kampung tua yang
hampir tak berpenghuni. Masih banyak puing-puing rumah yang tertinggal namun
tempat ini lebih mirip hutan. Bahkan tempat ini hanya bisa ditempuh dengan
jalan kaki. Jalan setapaknya penuh lumpur, di sepanjang jalan hanya sawah dan
ladang sebelum sampai di pinggir hutan yang kata nenek dulunya perkampungan.
“Tek[4] Minah!”
seseorang meneriaki nenek dari jalan setapak yang kami lalui tadi. Ia berjalan
cepat ke arah nenek, menciumi tangannya. Perempuan yang meneriaki nenek tadi
sudah cukup tua, berisi, menggunakan caping dan sebuah ember bertelinga di
tangannya. Kakinya penuh lumpur, tampak seperti baru kembali dari sawah.
“Jan lai tek, kumuah. Ina[5]
baru pulang dari sawah. (Jangan tek, saya kotor baru pulang dari sawah)”. Ia
sedikit mundur saat nenek hendak memeluk melampiaskan rindu.
“Sehat Lina?” tanya nenek dengan air mata yang
sudah berlinang, seolah mendesak untuk terjun bebas di wajah keriputnya.
“Alhamdulillah sehat tek.”
“Lina, ko Kia, cucu etek.” Aku pun
menyalami perempuan paruh baya yang diketahui bernama Lina itu.
“Kia,
dia Uwo Lina, sepupu Ibumu. Anak satu-satunya Rajin”.
Setelah perbincangan singkat itu Uwo
Lina mengajakku masuk ke salah satu rumah dekat surau. Ternyata rumah yang
sempat nenek gedor tadi adalah rumah Uwo Lina. Ia menghidangkan dua
gelas teh hangat dengan ubi rebus sementara membersihkan sebuah kamar di dekat
ruang tamu. Rumahnya tidak cukup besar hanya ada dua ruangan seperti kamar, dapur,
dan satu ruangan beralaskan tikar dan TV, tempat akau dan nenek duduk sekarang.
“Anak jo uda kau ma Lina (anak dan
suamimu mana)?” tanya nenek saat Uwo Lina menaruh beberapa piring di depan
kami.
“Itulah tek, anak-anak marantau sadonyo. Si
Ila ikuik lakinyo ka Pakan, si Mia karajo di Batam, tu si Alang nan patang tu
basobok jo Etek di Jakarta mah.(Itulah tek, anak-anak semuanya merantau. Si
Ila ikut suaminya ke Pekanbaru, Mia kerja di Batam, dan Alang yang kemarin
bertemu etek di Jakarta.)”
Nenek
hanya mengangguk paham “Da Sati cako ka Bukik, ado nan dibali (Uda Sati[6] tadi ke
Bukittinggi, ada keperluan membeli sesuatu).” Jelasnya lagi.
“Abak kau ma Lina? Ndak nampak dari tadi
(Bapakmu mana Lina? Dari tadi tidak kelihatan)” tanya nenek lagi.
Uwo Lina yang mendengarpun langsung duduk di hadapan nenek.
“Abak sakik tek, alah sabulan. Tapi abak
ndak amuah tingga jo Ina, abak di ateh, di rumah lamo. ‘kalau etek kau masih di
siko, rami rumah ko’ itu se kicek abak taruih. Ndak baranti-ranti manyabuik
etek. Samanjak etek diusia, abak maraso basalah bana. (Bapak sakit tek,
sudah sebulan. Tapi nggak mau tinggal sama saya, Bapak di atas, di rumah lama.
‘Kalau etekmu masih di sini, rumah pasti akan ramai’ Bapak selalu bilang gitu.
Menyebut-nyebut etek terus. Bapak sangat menyesal setelah etek terusir) ” Air
mata nenek jatuh, entah sebesar apa rasa rindu yang mungkin telah ia tahan.
“Sudah makan beko Ina antaan etek ka ateh.
(Setelah makan nanti saya antarkan etek ke atas)” Tambah Uwo Lina
sembari memberikan piring kepada nenek, isyarat agar lekas mulai makan.
Tausia? Meski tak fasih berbahasa Minang, aku tetap paham artinya. Jadi semua
dugaanku tentang nenek yang terusir itu benar? Apakah benar nenek telah berbuat
hal terlarang hingga terusir? Apa itu alasan nenek tak pernah pulang dan
memeberi tahu tentang kampung halaman meskipun masih memiliki saudara?
Tapi semua pertanyaan itu hanya bisa tertahan
dalam benak. Mungkin nanti saat nenek sudah lebih tenang dan bertemu Gaek[7] Rajin, semua
pertanyaanku akan terjawab. Meski hatiku sebenarnya risau, takut jika ternyata
ibu adalah anak haram hasil dari perbuatan tidak senonoh.
Bersambung...
Oleh: Miang
[1] Surau saat ini dapat diartikan langgar atau mushalla. Namun surau memiliki
fungsi penting bagi masyarakat Minangkabau sejak dahulu. Azyumardi Azra
menyebutkan bahwa surau sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkbau dan
dibangun berdasarkan suku. Fungsi terpenting surau saat itu sebagai tempat
tinggal anak laki-laki yang sudah aqil baligh namun belum menikah, namun saat
Islam masuk surau memiliki fungsi tambahan sebagai tempat mengaji sekaligus
menjadi cikal bakal pesantren di tanah Minangkabau.
[2] “rang” singkatan dari “urang” yang dalam Bahasa Indonesia berarti orang.
[3] Salah satu nama suku induk di Minangkabau, bersamaan dengan suku Koto,
Bodi, dan Piliang. Suku ini kemudian memiliki “anak” seiring berkembangnya
zaman.
[4] “Tek” atau “Etek” adalah panggilan untuk bibi di Minangkabau.
[5] Orang Minang biasanya memiliki panggilan kecil yang dalam beberapa kondisi
juga digunakan sebagai kata ganti orang pertama saat bercakap.
[6]Sati adalah salah satu gelar bagi menantu laki-laki di Minangkabau.
Biasanya laki-laki Minang akan diberikan gelar setelah menikah dari keluarga istri.
Gelar ini kemudian menjadi nama panggilan dalam pergaulan sehari-hari di
masayarakat menggantikan nama asli sebagai bentuk penghormatan.
[7]Panggilan untuk kakek di Minangkabau, tetapi hanya digunakan oleh beberapa
daerah.
0 komentar:
Posting Komentar