Dalam uluran masa yang berkepanjangan
Menyita setiap jengkal deretan peristiwa yang bertuan
Membuat satu kata beranak seribu untaian
Pada setiap malamnya hanya ada satu yang pasti, gelap
berkesudahan
Kau jelajah lagi untai rayu setahun yang lalu
Pohon yang menyumbang dedaunan tuk mencium tanah
Kau sempatkan menghitungnya, pada setiap helai yang
berlalu
Seolah sang daun merajuk bila ia tak terjamah
Di ujung senja
Untai-untai itu kau lantunkan dengan samar
Terpaku kumeratap sinar surya yang berkarat
Kesamaran lisanmu memberiku asa tuk berharap
Kita memberi peluang senja tuk mengolok-olok
Sepertinya ia menghujat sambil tertawa
Kau yang menyamarkan kata berarak
Aku yang menderu asa, untuk sebuah mimpi yang belum nyata
Kepalaku menoleh sekejap ke rona jingga sang langit
Hanya sekedar mengukuhkan kembali asa-asa yang ragu
Sekejap lagi mataku menangkap kepergianmu
Apakah ada yang menyapu tudungmu hingga kau malu?
Kau semakin menjauh,
menunduk menghitung butir pasir pada setiap derapmu
Atau aku yang kian tolol,
yang harus bimbang walau sekedar memanggil
Oh lisan berucaplah! Hanya sekedar kata “hai...
Tunggu”
Payah, kini ujung tudungnya tak terlihat lagi
Lihatlah! Kini sendiri kudiolok-olok sang senja
Dikatai tolol, aku pun pasrah
Karna kenyataannya
kubiarkan diriku ditinggalkannya
Oleh : Nanang Iskandar, Santri PP AL-Junaidiah biru
Bone
0 komentar:
Posting Komentar