 |
sumber foto: http://makalahirfan.blogspot.com |
Salah satu disiplin ilmu dalam Islam di dalam bidang hukum yang
masih jarang dipelajari atau diketahui oleh umat Islam sendiri adalah Kaidah-kaidah
Fikih/Hukum Islam atau yang dikenal dengan nama al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
Umat Islam hanya terbiasa dengan Tafsir Alquran, Hadis, Fikih, Usul Fikih,
Tasawuf, Ilmu Kalam, dan sebagainya. Padahal Kaidah-kaidah Fikih/Hukum Islam
sangat penting dipelajari karena ini merupakan hasil buah pemikiran para ulama
terdahulu, terlebih ulama empat mazhab.
Walaupun dalam pembuatannya
terdapat perbedaan, misalnya ulama dari mazhab Hambali membuat Kaidah-kaidah
Fikih ketika semua Masail Fiqh (Permasalahan-permasalahan Fikih) sudah
diketahui dan terjawab, baru mereka membuat Kaidah-kaidah Fikih tersebut. Lain
halnya dengan mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi, mereka terlebih dahulu
membuat Kaidah-kaidah Fikih, walaupun ada maupun tidak ada Masail Fiqh
tersebut, mereka tetap membuatnya. Maka dari itu tidak heran apabila ada Kaidah-kaidah
Fikih tersebut tidak ada contohnya.
Kaidah-kaidah Fikih atau al-Qawa’id al-Fiqhiyyah yang
berasal dari kata al-Qawa’id yang merupakan bentuk jamak dari kata qaidah
(kaidah) dan al-Fiqhiyyah merupakan bentuk jamak dari fiqh
(pemahaman/fikih/hukum Islam). Secara etimologi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah
yaitu dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau
jenis-jenis fikih. Biasanya Kaidah-kaidah Fikih lebih banyak dipelajari bagi
mereka yang berada di Fakultas Syariah, namun tidak menjadikan kita tidak
mengetahui tentang Kaidah-kaidah Fikih.
Pada dasarnya, mayoritas ulama menetapkan ada lima kaidah utama (al-Qawa’id
al-Khamsah) yang mana kemudian di dalam lima kaidah utama tersebut terpecah
lagi menjadi Kaidah-kaidah Fikih cabang yang jumlahnya menjadi ratusan kaidah.
Selain itu, ada banyak pembagian bidang kaidah sesuai dengan cabang-cabang ilmu
fikih, seperti Siyasah (Politik), al-Ahwal asy-Syakhshiyyah (Hukum
Keluarga), Muamalah (Hukum Ekonomi atau Transaksi), Jinayah (Hukum
Pidana), Qadha (Hukum Peradilan atau Acara), dan Ibadah. Namun, dalam
tulisan ini penulis akan membahas Kaidah-kaidah Fikih dalam bidang Siyasah,
al-Akhwal asy-Syakhshiyyah, Muamalah, dan Ibadah saja beserta
penjelasan dan contohnya.
A.
Kaidah-kaidah Fikih dalam Bidang Siyasah
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعيَةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَة
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya tergantung kepada
kemaslahatan.”
Maksud dari kaidah di atas yaitu seorang pemimpin harus membuat
peraturan sesuai dengan masalahat yang dapat diterima rakyatnya dan tidak
membuat peraturan sesuai dengan nafsunya yang dapat memudaratkan rakyatnya.
Misalnya, pemerintah membuat kebijakan bagi siapa saja yang rumahnya terkena
lahan hijau, maka rumahnya akan digusur. Pemerintah tidak hanya membuat
kebijakan untuk menggusur rumah rakyat tersebut, tetapi juga mengganti rugi berupa
uang sesuai dengan harga rumah tersebut dan mencarikan tempat gantian yang
layak bagi mereka. Seorang pemimpin harus berbuat adil kepada rakyatnya,
sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللّٰهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ
نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَ كِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ
يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
“Sesungguhnya
orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah itu berada di atas mimbar-mimbar
dari cahaya di sisi kanan Tuhan yang Maha Pemurah. Kedua tangannya adalah
kanan. Mereka itu adalah orang-orang yang berbuat adil dalam kekuasaan mereka,
keluarga mereka, dan apa-apa yang dilimpahkan kepada mereka.” (H.R. Muslim)
B.
Kaidah-kaidah Fikih dalam Bidang al-Akhwal asy-Syakhshiyyah
لَا يَصِحّ الوَصِيَّةُ بِكُلِّ المَالِ
“Tidak sah wasiat dengan keseluruhan harta.”
Maksud dari kaidah ini yaitu tidak diperkenankan berwasiat dengan
seluruh hartanya karena dalam hadis disebutkan bahwa batas maksimal mewasiatkan
harta yang dimiliki sebanyak sepertiga dari keseluruhan harta. Diceritakan
dalam sebuah hadis, Ketika Sa’ad bin Abi Waqash meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam untuk mewasiatkan dua pertiga hartanya beliau berkata,
“Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata, “Setengahnya”. Rasulullah Shallallah
‘Alaihi wa Sallam pun berkata, “Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata lagi,
“Kalau begitu sepertiganya”. Nabi Shallallah ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ
أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ
النَّاسَ
“Sepertiga. Sepertiganya itu cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau
meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) itu lebih baik
daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga meminta-minta
kepada orang lain.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
C.
Kaidah-kaidah Fikih dalam Bidang Muamalah
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama
dengan riba.”
Maksud dari kaidah ini yaitu apabila terjadi pinjam-meminjam, maka berapa
pun uang yang dipinjam maka harus dibayarkan sesuai dengan seberapa banyak yang
dipinjam, yang meminjamkan tidak boleh meminta lebih uang yang dipinjamkan
karena ini termasuk unsur riba, kecuali yang meminjam uang tersebut memberikan
uang lebih kepada yang meminjamkan sebagai bentuk terima kasih. Misalnya, Ahmad
meminjam uang dengan Zaid sebesar Rp. 50.000,00, maka Zaid tidak boleh menyuruh
Ahmad mengembalikan uang yang ia pinjamkan lebih dari itu, kecuali Ahmad dengan
inisiatifnya mengembalikan lebih uang kepada Zaid. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. al-Baqarah [2]:
275).
D.
Kaidah-kaidah Fikih dalam Bidang Ibadah
الإِيْثَارُ فِيْ القُرْبِ مَكْرُوهٌ وَ
فِيْ غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ
“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam
urusan selainnya adalah disenangi.”
Maksud dari kaidah ini yaitu sebaiknya kita lebih mengutamakan diri
sendiri dalam perkara ibadah daripada orang lain karena ini adalah termasuk
berlomba-lomba dalam kebaikan. Contoh, apabila saat kita ingin melaksanakan
salat berjamaah, di depan kita ada saf kosong, maka sebaiknya kita yang
mengisinya, jangan sampai kita menyuruh orang lain untuk mengisi saf tersebut,
karena semakin di depan safnya maka semakin baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ
“Maka, berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (Q.S. al-Baqarah
[2]: 148).
Oleh: Muhammad Torieq Abdillah, Mahasiswa Jurusan Hukum Tata
Negara, Fakultas Syariah, UIN Antasari Banjarmasin