Hadirnya revolusi industri membawa begitu banyak perubahan pola
pikir, perilaku, dan budaya yang terlihat drastis dan signifikan. Kebebasan dan
keterbukaan yang media sosial tawarkan membuat sebagian orang terjebak
euphoria, tak sedikit dari mereka yang bersikap reaktif dalam menyebarkan
informasi tanpa adanya verifikasi. Maraknya sikap saling serang atar kelompok
dalam bentuk provokasi, fitnah, ujaran kebencian (hate speech), berita
bohong (hoax), penipuan (scam and found), dan konten negatif lainnya, membuat masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam
menggunakan media sosial.
Fenomena cybercrime di atas diperkuat oleh hasil temuan
Kominfo terkait penyebaran hoax sejak agustus 2018 hingga april 2019
dengan total 1.721 hoax yang telah diidentifikasi oleh Kominfo.[1]
Data tersebut menujukkan bahwa tingkat penyebaran berita hoax di negeri
ini sangat tinggi, tentunya fenomena ini cukup mengkhawatirkan karena disadari
atau tidak, hoax dapat berimplikasi pada timbulnya sebuah perpecahan.
Agama menyebutnya bahwa kita telah gagal dalam melakukan tabayyun sebelum
bereaksi, yang mana reaksi kita tersebut berkonsekuensi merugikan orang lain. Seorang
penulis, David Kushner berkomentar behwa berita palsu hanyalah sebuah gejala.
Penyakit sesungguhnya adalah berkurangnya keinginan mencari bukti,
mempertanyakan sesuatu, dan berpikir kritis.[2]
Secara tidak langsung Islam telah mengatur tentang
bagaimana cara kita beretika dalam bermedia sosial, penyebaran
berita bohong merupakan pelanggaran etika dalam Islam, karena
menyampaikan informasi yang tidak benar merupakan salah satu ciri orang
munafik. Salah satunya adalah dengan mulai memberdayakan etika yang diajarkan Islam
dalam bermedia sosial. Caranya yaitu dengan menumbuhkan kesadaran yang dimulai
dari diri sendiri, “ibda’ binafsik” (mulailah dari dirimu sendiri).[3]
Dengan begitu seorang muslim akan menyadari bahwa setiap amal dan tingkah laku
moralnya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Maka dari itu,
perlu adanya edukasi mengenai bagaimana cara beretika dalam bermedia sosial
utamanya bagi generasi milenial.
Tulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai batasan dalam
bermedia sosial, bahwa ternyata ada suatu etika dalam Islam
yang seharusnya diaplikasikan dalam pengunaanya. Bagi para generasi milenial
tentunya, agar mereka dapat bersikap bijak dalam bermedia sosial.
Secara etimologi etika berasal dari kata ethos yang
merupakan bentuk tunggal dari Bahasa Yunani, ethos berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak, dan cara berpikir. Adapun bentuk jamaknya
yaitu ta etha yang berarti adat kebiasaan.[4]
Penggunaan kata etika dalam kehidupan sehari-hari terkadang
disamakan dengan kata moral dan akhlak. Paul Roubiczek berpandangan bahwa
moralitas adalah, “patters of behavior based on the absolute value of the
good” (pedoman tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai kebaikan).[5]
Jadi, yang menjadi titik tekan dalam etika atau moral ini adalah seluruh
tingkah laku manusia yang dipandang dari baik ataupun buruknya perilaku
tersebut.
Dalam Islam sendiri, ketika berbicara mengenai etika tentunya tidak akan
terlepas dari ilmu akhlak, yaitu membahas tentang hal-hal yang harus dilakukan
oleh manusia sebagai kebaikan juga hal-hal yang harus dijauhinya sebagai
tindakan keburukan yang didasarkan pada nilai-nilai agama.[6]
Nilai-nilai moral yang diajarkan dalam Islam
berlaku untuk semua orang di semua tempat, tanpa memandang latar belakang
etnis. Selain itu, ia juga memiliki kestabilan dan ketegasan, yaitu apa-apa
yang dinilai baik menurut Allah Swt. itu harus dikerjakan, begitupun sebaliknya.
Sebagaimana pendapat Mukti Ali bahwa “Agama memberi petunjuk bagaimana moral (etika, akhlak) itu
dijalankan.”[7]
Pada zaman yang semakin canggih ini, keterlibatan masyarakat pada
teknologi digital dinilai penting untuk digunakan dalam seluruh aspek
kehidupannya. Era ini memunculkan trend baru dalam perkembangan media sosial.
Dalam penggunaanya terkadang tak sedikit yang mengabaikan moral dan etika hanya
demi kesenangan peribadi dan golongan.
Seorang muslim hendaklah memiliki sikap santun dalam bersosialisasi,
utamanya dalam bermedia sosial. Hendaklah mengamalkan ajaran akhlak yang dicontohkan
Nabi Muhammad, antara lain; harus dapat menjaga perasaannya juga perasaan orang lain,
kemudian dapat membedakan mana sesuatu
yang pantas dan tidak pantas untuk disampaikan, serta saling menjaga privasi.
Jangan sampai dengan adanya media sosial malah melanggar ajaran
tersebut, misalnya dengan membuat dan menyebarkan berita yang tidak dapat diverifikasi
kesahihannya, mudah menuduh orang lain dengan mengkafir-kafirkannya. Maka dari
itu hendaknya kemudahan yang ditawarkan di zaman yang serba digital ini harus
disikapi secara bijak, agar tidak terjadinya permusuhan dan
perpecahan.
Gerakan kesadaran dalam pemberdayaan etika Islam
dalam bermedia sosial haruslah dimulai dari diri sendiri “ibda’ binafsik”.
Seruan nabi tersebut agar setiap muslim memulai dari niat yang berangkat dari
dirinya masing-masing, termasuk juga gerakan kesadaran dalam penegakan
moralitas dan akhlak harus dimulai dari diri sendiri. Setelah itu, nilai moral
tersebut kita tanamkan dan internalisasikan di lingkungan keluarga, masyarakat,
dan sekolah.
Jika hal itu terwujud implikasinya adalah perilaku dan akhlak
bangsa kita secara keseluruhan akan baik pula.[8] Dalam
Al-Qur’an
seorang muslim dituntut untuk memiliki kemampuan dan pengetahuan etis dalam
menyampaikkan informasi, didalamnya terdapat berbagai tuntunan bijak yang
mengedepankan etika daripada nafsu semata.
Salah satu tuntunan tersebut ialah menyampaikan informasi dengan
benar, tidak memanipulasi fakta, serta menahan diri untuk tidak menyebar
luaskan informasi tersebut jika kita belum tahu pasti kebenarannya. Untuk dapat
memverifikasi informasi tersebut kita harus meneliti kebenaran informasi dengan
mengecek dari sumbernya, dalam istilahnya adalah saring sebelum sharing supaya tidak terjadi keributan dan kekacauan atas pemberitaan yang dimuat.
Sebagai generasi muslim di era millennial yang lekat dengan sebutan
generasi yang melek teknologi, bergantung pada fasilitas komunikasi, memiliki
rasa percaya diri yang tinggi, serta multi tasking, kita juga dituntut untuk
bersikap bijak dalam bermedia sosial, yaitu dengan mengedepankan etika dan
logika. Artinya harus bersikap hati-hati dan tidak boleh ceroboh dalam menggunakan
media sosial, karena hal tersebut dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.[9]
Kita harus bisa memahami bahwa setiap orang memiliki karakter dan
pola piker yang berbeda, sehingga ketika kita hendak men-share informasi
ke media sosial, kita harus berhati-hati. Juga informasi yang disampaikan harus
dengan bahasa yang mudah dipahami agar tidak terjadinya multi tafsir yang dapat
menimbulkan kegaduhan di media sosial.[10]
Sebagai generasi muslim milenial kita harus memanfaatkan media
sosial untuk berbual hal-hal yang positif, seperti menjadikannya sarana untuk berdakwah. Agar
kita tidak mudah terpapar ancaman berbagai konten negative media sosial, kita
juga harus cerdas dan selektif dalam memilah dan memilih informasi yang kita
terima. Salah satunya yaitu dengan memberdayakan etika dalam Islam
yang dimulai dari diri sendiri dalam menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak
yang baik. Dengan begitu diharapkan adanya media sosial dapat membangun
jejaring untuk memperkuat persaudaraan, bukan sebaliknya. Kemudian, sebagai
generasi milenial kita juga harus memperkuat karakter dan integritas dalam
menghadapi era persaigan yang bebas.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Lathifah Shofiani
[1] “Kementerian Komunikasi dan Informatika,” diakses 21 November 2019,
https://kominfo.go.id/content/detail/18440/temuan-kominfo-hoax-paling-banyak-beredar-di-april-2019/0/sorotan_media.
[2] Farinia Fianto, Empati Digital, dalam Muslim Milenial
(Bandung: Mizan, 2018), 40.
[3] Faisal Ismail, Studi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Diva
Press, 2018), 274.
[4] Maya Sandra Rosita Dewi, “Islam dan Etika Bermedia (Kajian Etika
Komunikasi Netizen di Media Sosial Instagram Dalam Perspektif Islam ) |
RESEARCH FAIR UNISRI,” 141, diakses 21 November 2019,
http://www.ejurnal.unisri.ac.id/index.php/rsfu/article/view/2574.
[5] Ismail, Studi Islam Kontemporer, 264.
[6] M. Zia Al-Ayyubi, “Etika Bermedia Sosial dalam Menyikapi Pemberitaan
Bohong (hoax) Perspektif Hadis |Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis,”
152, diakses 21 November 2019,
http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/alquran/article/view/1896.
[7] Ismail, Studi Islam Kontemporer, 271.
[8] Ismail,
281.
[9] Juminem, “Adab Bermedia Sosial dalam Pandangan Islam| Geneologi
PAI : Jurnal Ilmiah Bidang Pendidikan Agama Islam,” 27, diakses 21 November
2019, http://103.253.2.136/index.php/geneologi/article/view/1799.
[10] Juminem,
30.
0 komentar:
Posting Komentar