Setelah tes dan
alhamdulillah dinyatakan lulus seperti kedua teman yang lainnya, saya mulai
berpikir soal teknisi. “Berangkat?”
Lama saya berpikir. Setelah itu saya bertanya pada salah seorang senior pondok.
“Pergilah, Dek! Kesempatan
tidak datang 2 kali,” katanya. Kata-kata itu betul-betul menyulut api semangat
saya.
Kemudian saya lanjut dengan
salat istikharah. Tidak ada mimpi di
dalam tidur saya selepas salat istikharah
itu. Barulah di malam kedua setelahnya, saya bermimpi turun dari pesawat dan
yang saya lihat adalah hamparan pasir. Kutapaki hamparan pasir itu dengan
senyum merekah. Di ufuk barat terlihat tenggelam sang surya dengan semburatnya
yang jingga. Saya terbangun, dan saya artikan saja bahwa pasir itu adalah gurun
pasir di Mesir.
Terus saya tanya orang tua
soal biaya, “Bagaimana ini, Bapak, Emak? Siap jiki?”
Bapak lagsung menimpali,
“Pergilah, Nak! Kalau kau betul-betul berniat untuk itu, soal biaya jangan kau
hiraukan! Bapak sekarang tidak punya uang. Tapi yakinlah rezeki Allah! Percayalah!”
Untuk keberangkatan yang
menegangkan, saya terlebih dahulu mengurus visa. Tiga bulan lamanya visa baru selesai,
baru bisa berangkat dari kota kecil kelahiran menuju kota Makassar, transit ke
Jakarta, dan kemudian ke Kairo. Berbunga-bungalah sang hati. Saya sudah seperti
jatuh cinta pada seorang kekasih. Nyatanya saya hanya tak sabar menginjakkan
kaki di Mesir.
Dua orang teman yang juga
lulus untuk kuliah ke Mesir, ternyata punya kendala dari restu keluaga. Yang
satunya tidak disetujui oleh kakek atau mungkin neneknya kalau tidak salah, untuk kuliah terlalu jauh, sehingga dia kuliah di IAIN
kota kelahiran. Sedangkan yang satunya tidak direstui oleh hati kecil sebagian
anggota keluarga ditambah persoalan beasiswa yang dia lulusi dari sebuah kampus
yang didaftari, dan jika tidak diambilnya maka akan berdampak buruk kedepannya
bagi angkatan madrasah Aliyah di bawah kami. Jadilah saya hanya berangkat seorang diri mewakili
alumni pondok tahun itu.
Di momen itu saya menemukan
sebuah makna dari dua forum gaib dari dalam rindu. Satu; keluarga, dua;
teman-teman. Saya sebut satu persatu nama-nama orang yang saya sebut
teman-teman itu sepanjang perjalanan. Kudoakan agar sukses dan kita akan
bertemu kembali dengan setumpuk kisah masing-masing untuk diobrolkan menghabiskan
waktu. Sepertinya akan sudah lebih berbobot dengan perkembangan masing-masing
yang sudah ada.
Di kota para Karaeng, kota
Makassar yang saat malam kerlap-kerlip jalan rayanya membuat jatuh cinta, saya
menemukan haru yang tidak akan terlupakan sampai pulang kembali ke kota
tercinta itu. Moment keberangkatan, diwarnai oleh dua pihak yang awalnya jelas
memberi dampak bangga pada pribadi, yakni keluarga dan teman-teman. Keduanya
rela datang dari jauh-jauh, membuat saya haru, bangga, dan cinta dengan mereka.
Agak dramatis air mata setengah mati saya larang jatuh, dekap para sahabat
sepondok seperjuangan sependeritaan selama tiga sampai enam tahun selama di
pondok, membuat saya haru dan agak tidak enak hati untuk tidak total mengincar
sukses. Kedua orang tua saya melepas kepergian dengan tegar. Tidak saya lihat
adanya lubang dalam pekatnya cinta dan kasih mereka saat itu.
Transit di bandara kota
Jakarta, tiga orang teman yang kuliah di Bandung menyempatkan datang ke bandara
ibu kota itu hanya untuk melepas kepergian saya. Dikisahkannya perjalanan
mereka dari kota Bandung menuju bandara ibu kota melalui kantung mata yang menghitam di bawah mata
mereka. Mata-mata yang selalu saya kenali mampu memberi sorot untuk menunjukkan
beratnya ilmu dan abdi penggunanya dalam kehidupan ini.
“Mana buku yang kau
janjikan, Mas Bro?” saya bertanya pada teman yang rambutnya sudah berponi.
Padahal semenjak di pondok, rambutnya itu tidak pernah sepanjang itu sebab akan
selalu dipotong oleh guru piket jika menjelang ulangan tengah atau akhir
semester. Katanya itu balas dendam. Orang Bone harus gondrong jika merantau,
katanya saat itu.
Dia terlihat mengeluarkan
buku hitam dari dalam tas selempangnya. Kubaca judul dan sinopsisnya, buku itu
bercerita tentang sejarah spesifik tentang seorang ahli kalam yang dianggap
menyalahi akidah yang benar. Tak saya pedulikan untuk sementara apa isi buku
itu lebih lanjut, lebih kupilih untuk menghabiskan waktu bersama mereka bertiga
sebelum waktu keberangkatan tiba.
Selama beberapa jenak saya
terhibur dengan hadirnya mereka melepas kepergian saya, pada akhirnya juga
masih saja dengan kesedihan. Saya peluk mereka dengan agak malu. Mereka bertiga
malah lebih tegar karena sepertinya lelahnya sudah lebih dominan daripada
sedihnya. Hanya saja senyuman bangga di bibir-bibir tebal mereka tidak
tersembunyi. Saya ucap sampai jumpa. Dan ribut cecakap di bandara itu menjelma
menjadi nyanyian kepergian Layla yang dipinang lelaki lain kala Qais pun
menjadi gila.
Cairo, Mesir. Kota para
nabi. Dan kota para ulama kontemporer zaman sekarang. Kedatangan di Mesir
dengan semangat serta tekad yang membara, begitu pula amanah yang harus
ditunaikan, pastinya. Di kala sampai saya disambut oleh seorang senior yang
juga alumni dari pondok. Bersama beberapa dari temannya, saya disambut hangat.
Luar negeri, Mesir. Melewati
musim dingin yang fantastis. Salju yang tidak saya tahu bagaimana tentang
benda-benda kecil beku putih dan turun pelan layaknya hujan kapas bermassa agak
berat itu membuat saya menyadari bahwa saya benar-benar telah berda di negeri
orang dengan segala bekal yang ada. Mesir, Bung. Kota yang dua kali takluk ini
ternyata sangat dingin di malam hari. Atau mungkin karena ini musim dingin?
Entah. Saya belum tahu banyak.
Di sela-sela ranting cuaca
dingin di malam hari saat itu, saya mulai menerka batin yang sudah agak tenang.
Kubaca beberapa pesan di layar ponsel, ternyata teman-teman di Indonesia masih
saja banyak tanya soal apa saja. Banyak hal yang rasanya tidak terjelaskan kala
menerima bacot-bacot di ponsel saya itu. Kutahu beberapa di antara mereka
cemburu. Kutahu pula mereka terlampau bangga. Yang cemburu itu biasanya akan
semakin termotivasi, dan seterusnya.
Tiba pada pembahasan
cerita-cerita ini, saat itu, saya meniup udara di depan muka dengan napas yang
hangat. Saya bukan perokok, tapi mulut dan hidung saya berasap. Sudah seperti
pemain bola liga Eropa. Dan seperti itu seterusnya saya dapati semua hal baru
dalam perantauan mencari cahaya ini.
Harusnya saya menerima
kenyataan sebagai seorang perantau di negeri orang, tidak akan lepas dari yang
namanya status minorotas. Saya tekadkan dalam hati untuk bersaing
seberat-beratnya demi mengharumkan nama bangsa dan seterusnya. Sebuah fenomena
yang sangat baru saya temui yaitu bom yang hampir ada di setiap bulannya, razia
polisi yang kadang menangkap mahasiswa asing cuman karena tidak bawa paspor,
kebiasaan naik bus setiap hari, dan seterusnya.
Warna negara maju ini begitu
khas dengan sesuai yang diceritakan senior yang menjemput saya di bandara waktu
itu. Perlahan mulai terbiasa
untuk mengguanakan sapa-sapa tukar basa-basi berbahasa setempat.
Sekarang saya pertegas dalam
proses saya ini. Kertas kehidupan saya tidak akan kubiarkan mengusam. Apa yang
pernah saya niat, tidak akan saya biarkan termakan tipu-tipu dunia yang menggiurkan.
Daya seorang santri harusnya selalu bisa lebih bisa dari apa yang dibisa oleh
yang mengajari.
Santri yang tengah menempuh
suatu asa di negeri taklukan Amr bin Ash ini, agar bisa merasakan yang namanya
pulang ke tanah kelahirannya, cita-cita saya harus berusaha sejalan searah
dengan kecintaan saya pada setiap yang dicintai, tekun baca dan berpikir wajib
searah sejalan dengan takdir poros inti dari Tuhan yang diberikan.
Jika Qais gila, semoga Layla
menggantinya untuk mencinta tanpa batas. Jika teman-teman di Indonesia hanya
bisa cemburu dan masih lanjut bermimpi, semoga saya bisa mewakili mereka
terlebih awal. Mereka pasti belum tahu kalau rindu sangat
jauh berbeda aromanya di negeri orang dan di sana. Rindu di Mesir aromanya
salju, Bung. Kalau di sana mungkin sebatas aroma hujan yang tak sampai
menghapus kenangan bersamanya?
Sel, 24 November 2020.
_Abdil (dedikasi untuk seorang teman lama.)
0 komentar:
Posting Komentar