Perbedaan adalah Rahmat
Tuhan.
Namun
bagi sebagian orang justru memandangnya sebagai sebuah
permusuhan dan kerap dijadikan
sebagai persoalan. Hal ini sering menjadi akar
dari beragam perselisihan yang tak jarang dapat menimbulkan perkelahian, lebih-lebih
lagi dapat
membuat seseorang untuk bertindak anarkis dan radikal. Menyikapi
persoalan dan fenomena tersebut, mari kita
bermuhasabah dan membaca kembali catatan-catatan kehidupan manusia
pilihan dan utusan Allah Swt. yaitu Nabi Muhammad
SAW. dalam hal merajut
perdamaian dan mengutamakan persatuan di atas semua golongan.
Alkisah
pada lima tahun sebelum masa
kenabian, tepatnya
ketika Nabi berusia 35 tahun, kota Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Baitul Haram
yang sewaktu-waktu bisa membuat Ka’bah menjadi runtuh. Bencana
tersebut membuat bangunan Ka’bah semakin rapuh dan dindingnya pecah-pecah.
Ka’bah merupakan susunan batu-batu yang 9 hasta lebih tinggi dari tubuh manusia, dibangun sejak masa Nabi Ismail as tanpa
adanya atap sehingga banyak pencuri yang sering mengambil barang-barang
berharga yang tersimpan didalamnya. Orang-orang Quraisy dihinggapi
rasa bimbang dan takut antara merenovasi atau membiarkan apa adanya. Meskipun
akhirnya mereka sepakat untuk merenovasinya. Mereka
juga sepakat bahwa dalam perenovasiannya hanya akan memasukan bahan-bahan
bangunan yang ‘baik’. Artinya,
selain dengan mempertimbangkan faktor kualitas dari bahan bangunan itu sendiri,
mereka
juga tidak menerima dana dari penghasilan para
pelacur, riba, dan perampasan terhadap harta orang lain.
Walau sudah demikian, mereka tetap
saja masih merasa takut untuk merobohkannya. Akhirnya al-Walid bin Mughiroh al-Makhzumi mengawali
perobohan bangunan Ka’bah yang kemudian diikuti oleh semua
orang
setelah
mengetahui bahwa tidak ada sesuatu pun yang menimpa al-Walid.
Mereka
terus merobohkan setiap bangunan Ka’bah hingga Rukun Ibrahim, untuk
kemudian membangunnya kembali. Mereka membagi sudut-sudut
Ka’bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya masing-masing.
Setiap
kabilah mengumpulkan batu-batu yang baik dan mulai membangun.
Adapun yang bertugas menangani urusan renovasi pembangunan Ka’bah
secara keseluruhan adalah seorang arsitek berkebangsaan Romawi yang bernama Baqum
(nama
aslinya adalah Pachomius).
Tatkala pembangunan
sudah sampai di bagian Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang
berhak mendapat kehormatan untuk meletakan batu
suci tersebut di tempat semula.
Perselisihan
itu terus
berlanjut selama 4-5 hari kemudian tanpa adanya
keputusan. Bahkan, perselisihan itu semakin meruncing yang hampir saja mengakibatkan pertumpahan
darah di Tanah Suci. Abu Umayyah bin al-Mughiroh Al-Makhzumi
kemudian mengusulkan solusi atas
perselisihan
di antara mereka untuk menyerahkan urusan
ini kepada siapapun yang pertama kali masuk melalui pintu masjid,
hingga mereka
akhirnya sepakat. Allah Swt. menghendaki orang
yang berhak dalam menangani masalah tersebut adalah Nabi
SAW. Tatkala mengetahui hal ini, mereka saling berbisik-bisik ”Inilah Al-Amin -kami rela kepadanya-,
Muhammad”.
Setelah mereka berkumpul di sekitar Nabi dan mengabarkan apa
yang harus beliau lakukan, beliau
pun kemudian
meminta
sehelai selendang sebelum beliau (Nabi) meletakan Hajar
Aswad tepat di tengah-tengah selendang
tersebut, lalu meminta kepada
para pemuka
kabilah yang saling berselisih untuk memegang
tiap-tiap
sudut selendang dan
meminta mereka untuk mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah mendekati
tempat
(Hajar Aswad) yang semula, beliau kemudian mengambilnya dan meletakannya
sendiri. Ini merupakan cara pemecahan yang sangat tepat dan memuaskan hati
semua orang.
Kisah
Nabi dalam hal menyikapi
perbedaan di tengah keberagaman suku dan golongan tersebut bisa dijadikan contoh
untuk diterapkan di masyarakat
saat ini. Bahwasanya persatuan merupakan nilai pokok kehidupan
daripada harus memilih untuk membakar api perselisihan dan menjauh dari
perdamaian.
Refrensi:
الرحيق المختوم، ص: 52
- بناء الكعبة وقضية التحكيم
Teks
aslinya adalah:
ولخمس وثلاثين من مولده صلى الله عليه وسلم قامت
قريش ببناء الكعبة وذلك لأن الكعبة كانت رضما فوق القامة ارتفاعها تسعة أذرع من
عهد إسماعيل ولم يكن لها سقف فسرق نفر من اللصوص كنزها الذي كان في جوفها وكانت مع
ذلك قد تعرضت اعتباره أثرا قديما للعوادي التي أهت بنيانها وصدعت جدرانها وقبل
بعثته صلى الله عليه وسلم بخمس سنين جرف مكة سيل عرم انحدر إلى البت الحرام فأوشكت
الكعبة منه على الانهيار فاضطرت قريش إلى تجديد بنائها حرصا على مكانتها واتفقوا
على أن لا يدخلوا في بنائها إلا طيبا فلا يخلوا فيها مهر بغي ولابيع ربا ولامظلمة
أحد من الناس وكانوا يهابون هدمها فابتدأ بها الوليد بن المغيرة المخزومي وتبعه
الناس لما رأوا أنه لم يصبه شيء ولم يزالوال في الهدم حتى وصلبا إلى قواعد إبراهيم
ثم أرادوا الأخذ في البناء فجزأوا الكعبة وخصصوا لكل قبيلة جزاء منها فجمعت كل
قبيلة حجارة على حدة وأخذوا يبنونها وتولى البناء رومي اسمه باقوم ولما بلغ
البنيان موضع الحجر الأسود اختلفوا فيمن يمتاز بشرف وضعه في مكانه واستمر النزاع
أربع ليال أوخمسا واشتد حتى كاد يتحول إلى حرب ضروس في أرض الحرام إلا أن أبا أمة
بن المغيرة المخزومي عرض عليهم أن يحكموا فيها شجر بينهم أول داخل عليهم من الأمين
رضيناه هذا محمد فلما انتهى إليهم وأخبروه الخبر طلب رداء فوضع الحجر وسطه وطلب من
رؤساء القبائل المتنازعين أن يمسكوا جميعا بأطراف الرداء وأمرهم أن يرفعوه حتى إذ
أوصلوه إلى مضعه أخذه بيده فوضعه في مكانه وهذ حل حصيف رضي به القوم وقصرت بقريش
النفقة فأخرجوا من الجهة الشمالية نحوا من ستة أذرع وهي التي تسمى بالحجر والحطيم
ورفعوا بابيها من الأرض لئلا يدخلها إلا من أرادوا لما بلغ البنا خمسة عشر ذراعا
سقفوه على ست أعمدة ا ه
Penulis:
Nama : Bad’ul Hilmi Arromdoni
Organisasi :
Institusi : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Fakultas Sains dan Teknologi
Program Studi Magister Informatika
Instagram : bad.ul_hilmi.ar
Email :
21206051014@student.uin-suka.ac.id